SISI SUFISTIK DALAM ESQ ARY GINANJAR
PENTING DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT MODERN
PENTING DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT MODERN
Written by Basyir Baick
January, 19 2013
January, 19 2013
Adapun
untuk memahami apa yang dimaksud dengan istilah "modern" sendiri sebenarnya dari masa ke masa telah mengalami
pergeseran makna sesuai intensitas penggunaannya. Harun Nasution menjelaskan
bahwa kata "modern", "modernisme", dan
"modernisasi" seperti kata lainya yang berasal dari Barat, telah
dipakai dalam bahasa Indonesia. Dalam masyarakat Barat "modernisme"
mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah
paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya, agar
semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang
ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[1]
Menurut M. Solly Lubis, para pakar
budaya secara umum berpendapat bahwa ciri khas modernisasi dan manusia modern
adalah tingkat berfikir, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), dan sikapnya
terhadap penggunaan waktu dan penghargaan terhadap karya manusia.[2]
Dengan kecerdasan dan bantuan teknologi, manusia modern seharusnya lebih bijak dan arif, namun dalam kenyataanya banyak manusia yang kualitas kemanusiannya lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kemajuan berfikir dan teknologi yang dicapai.[3] Kemajuan iptek yang amat mengandalkan kecerdasan rasio, pada batas-batas tertentu dapat mempengaruhi nilai idealisme-humanisme hingga semakin menuju ke arah rasionalisme, pragmatisme, dan relatifisme. Berbagai akibat yang muncul ke permukaan antara lain adalah nilai-nilai kehidupan umat manusia lebih banyak didasarkan atas nilai kegunaan, kelimpahan hidup matrialistis, sekularistis dan hedonistik serta agnistik yang menafikan aspek-aspek etika-religius, moralistis dan humanistis.[4] Disamping itu, manusia modern juga kesulitan untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, karena mereka begitu sibuk melakukan penyesuaian diri dengan tren modern itu sendiri. Ia merasa sedang berjuang keras untuk memenuhi keinginannya, padahal sebenarnya mereka diperbudak oleh keinginan orang lain, yaitu oleh karena keinginan sosial. Ia boleh jadi memperoleh kepuasan, tetapi kepuasan itu sebenarnya kepuasan sekejap, yakni kepuasan dalam mempertahankan perilaku yang dipesan oleh orang lain.[5] Misalnya, banyak masyarakat modern yang sangat sibuk bekerja, menghasilkan uang banyak, yang sebagian untuk membangun rumah mewah yang pantas untuk dikagumi. Namun demikian rumah tersebut jarang ditempati kecuali hanya untuk tidur di malam hari, karena sehari-hari waktunya dihabiskan di tempat kerja. Komunikasi dengan keluarga (anak dan istri) pun tidak terlalu erat, bahkan ketika kebetulan seluruh anggota keluarga sedang berada di rumah pun komunkasi antara anak dengan ayah hanya dilakukan melalui telepon dari kamar masing-masing, itu pun dilakukan hanya apabila ada urusan penting.[6] Demikianlah sebagian gambaran dari kehidupan modern, yang dikagumi oleh masyarakat sosial karena kesuksesannya, namun kehidupan secara pribadi dan keluarganya sebenarnya mengalami kehampaan. Adapun akibat dari sikap hipokrit yang dijalani masyarakat modern secara berkepanjangan tersebut, menjadikan manusia modern mengidap gangguan kejiwaan antara lain berupa kecemasan, kesepian, kebosanan, prilaku menyimpang, dan psikosomatis. [7] Manusia memang "diprogram" secara tidak memadai. Fenomena modernisme, yang diyakini sebagai pilihan tepat membebaskan manusia dari situasi ketertinggalan, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, meski dalam arti terbatas menunjukkan kemajuan yang cukup spektakuler, tetapi juga menyisakan persoalan-persoalan yang rumit dan kompleks. Penggunaan rasio yang melahirkan kemajuan iptek merupakan embrio ekspansi wilayah, imperialisme. Modernisme, dengan demikian, disamping menawarkan kemudahan-kemudahan bagi manusia, juga memproduksi model-model belenggu baru yang jauh lebih dahsyat.[8] Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, sebagaimana Firman Allah Swt dalam surah ar-Rum ayat 41: "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".[9] Sebenarnya tidak dapat dipungkiri bahwa secara alamiah manusia merindukan kehidupan yang tenang dan sehat, baik jasmani maupun rohani, kesehatan yang bukan hanya menyangkut badan, tetapi juga kesehatan mental. Untuk mencapai hal ini tentu tidak dapat dicapai hanya dengan memaksimalkan kecerdasan intelektual (IQ) belaka. Kesalahan kehidupan masyarakat modern yang hanya menekankan aspek IQ ini terjadi sejak dari sistem pendidikan mereka selama ini yang terlalu menekankan pentingnya nilai akademik atau kecerdasan otak (IQ) saja. Mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke bangku kuliah, jarang dijumpai pendidikan tentang kecerdasan emosi (EQ) yang mengajarkan: intregitas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi.[10] Hal ini dapat dilihat pada materi-materi pelajaran sekolah, dan materi ujian tes evaluasi belajarnya, semuanya bertujuan untuk mengembangkan IQ saja. Pendidikan dalam masyarakat modern semacam ini bukanlah hal yang baik untuk kelangsungan kehidupan manusia. Dikatakan oleh Ary Ginanjar Agustian, bahwa hasil survei di Amerika Serikat pada tahun 1918 tentang IQ, menunjukkan bahwa semakin tinggi skor IQ pada anak-anak, kecerdasan emosi (EQ) mereka justru turun. Hasil survei yang lain, yang dilakukan besar-besaran tahun 1970 dan 1980 terhadap para orang tua dan guru, mayoritas mereka mengatakan bahwa anak-anak sekarang (saat itu) lebih sering mengalami masalah emosi dibandingkan dengan anak-anak generasi terdahulu. Mereka tumbuh dalam kesepian dan depresi, mudah marah dan lebih sulit diatur, lebih gugup dan cenderung cemas; impulsif dan agresif. Survei tersebut berlanjut dengan penelitian terhadap ratusan ribu pekerja, dari juru tulis hingga eksekutif puncak, dari perusahaan besar, hingga perusahaan kecil dan wirausahawan. Dalam kajian tersebut ditemukan bahwa kemampuan pribadi dan sosial menjadi inti utama keberhasilan (kecerdasan emosi).[11] Mereka yang hanya mengedepankan IQ saja, hanya mengakui eksistensi dari hal-hal yang bersifat materiil yang dapat diraba, dirasa, dan diteliti secara ilmiah saja, namun dalam hidup mereka akan mengalami kebuntuan dan terasa gersang. Sebagian masyarakat menolak jauh-jauh fenomena kebuntuan dan kegersangan kehidupan modern dengan masuk ke dalam wacana tasawuf. Meskipun dalam ilmu pengetahuan, tasawuf tidak diakui karena sifatnya yang adikodrati (melebihi atau di luar kodrat alam), namun demikian eksistensinya di tengah-tengah masyarakat membuktikan bahwa tasawuf adalah bagian tersendiri dari suatu kehidupan masyarakat; sebagai sebuah pergerakan, keyakinan agama, organisasi, jaringan bahkan penyembuhan atau terapi.[12] Melalui sufisme ini memungkinkan manusia untuk dapat meraih penglihatan dan pemahaman batin, sehingga merasakan kebahagiaan dalam segala situasi yang ia hadapi. Interaksi seseorang sufi dalam segala lingkungan selalu dalam keharmonisan dan kesatuan sejati dengan seluruh lingkugan alam, yaitu bahwa dalam seluruh keadaan, perbuatannya selalu muncul sebagai manifestasi dari cinta kasih dan kebahagiaan hati.[13] Namun demikian, tidak sedikit pula mereka yang masuk ke dalam dunia sufi ini yang hanyut dalam berzikir mendekatkan diri pada Tuhan, tetapi kemudian mereka terlena, sehingga mengabaikan urusan keduniaan. Pada gilirannya mereka terasingkan dari kehidupan masyarakat pada umumnya. Mereka ini secara umum adalah dari kalangan sufi klasik, meskipun sebenarnya tidak semua pengikut sufi klasik mengalami hal demikian ini. Pengikut sufi klasik yang ekstrim semacam ini lebih memaksimalkan kecerdasan spiritual (SQ) akan tetapi banyak mengabaikan kecerdasan intelektual. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat modern, yang lebih mengandalkan kecerdasan intelektual (IQ) namun cenderung mengabaikan aspek spiritual. Dengan situasi semacam ini sehingga masyarakat modern terkesan begitu bertentangan dengan kalangan sufi, dan bahkan tidak jarang sebagian masyarakat muslim sendiri yang mengatakan bahwa sufi adalah sesat. Mereka berpendapat demikian salah satunya dengan alasan bahwa ajaran Islam datang untuk menjaga akal, sementara ajaran sufi datang untuk menghilangkan akal.[14] Terjadinya konflik antara kaum sufi dengan kaum modern tersebut dikarenakan mereka sama-sama hanya menerapkan kecerdasan dari aspek tertentu saja dan mengabaikan kecerdasan pada aspek yang lain. Perlu diingat bahwa dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga bentuk kecerdasan, yaitu antara lain kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Antara IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang seharusnya mampu bersinergi secara proporsional, sehingga menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang penuh keseimbangan. Sebenarnya setelah ditemukannya aspek EQ (kecerdasan emosi), telah sedikit berhasil membantu masyarakat modern dalam melepaskan kegalauan yang terjadi dalam kehidupan. Namun demikian, ketakjuban akan EQ tidak berlangsung terlalu lama, karena muncul pendapat baru bahwa EQ dan IQ hanya berorientasi pada materi semata-mata. Untuk kemudian ditemukanlah aspek lain yang sangat penting yaitu berupa kecerdasan spiritual (SQ). SQ ini merupakan temuan ilmiah yang pertama kali digagas oleh Danah Johar dan Ian Marshall dengan pembuktian ilmiah tentang kecerdasan spiritual. Yang dipaparkan oleh kedua ahli ini antara lain adalah: pertama, riset ahli psikologi/syaraf, Michel Persinger pada awal tahun 1990-an, dan lebih mutakhir lagi tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S. Ramachandran yang menemukan eksistensi God-Spot dalam otak manusia, ini sebagai pusat spiritual yang terletak di antara jaringan syaraf dan otak.[15] Untuk menjawab permasalahan masyarakat modern, yang hingga sekarang cenderung hanya menekankan IQ saja, maka sebagai penyeimbang, muncullah usaha-usaha untuk meningkatkan EQ dan SQ pada mereka. Salah satu usaha tersebut di gagas oleh Ary Ginanjar Agustian dengan sebuah konsep yang diberi nama The ESQ Way 165. Dalam konsep tersebut kita diarahkan pada sebuah keseimbangan antara body (fisik), mind (psikis) dan soul (spiritual). Meskipun konsep ESQ yang digagas oleh Ary Ginanjar Agustian ini tidak menyebutkan diri sebagai aliran sufi, diantara materi besarnya sejalan dengan tasawuf, dimana kita diarahkan pada kesadaran yang mendalam mengenai hakikat diri kita, juga mengarahkan kita secara khusyu’ mendekatkan diri pada Tuhan dengan kesadaran cinta yang mendalam. Hal ini pada akhirnya mengantarkan kita pada kesadaran bahwa kita mengemban tanggung jawab dari Tuhan untuk membangun kehidupan secara benar. Pengalaman ini sebagaimana dirasakan oleh penulis selama mengikuti beberapa training yang diadakan The ESQ Way 165.[16] Pengalaman kekhusyu’an sedemikian ini sebagaimana dirasakan penulis pada waktu mengikuti jamaah tarekat Syadziliyah di Jombang, dan jamaah tarekat Naqsabandiyah di daerah Subra, Mesir. Disamping adanya kesamaan, juga terdapat perbedaan antara materi dalam The ESQ Way 165 ini dengan aliran sufi secara umum. Adapun perbedaan tersebut bahwa The ESQ Way 165 ini menyatukan antara kesadaran keilahian dengan aspek ilmu pengethuan (science) yang dibahas secara rasional, dan dikemas secara modern, sementara aliran sufi pada umumnya lebih memfokuskan pada pendekatan diri pada Tuhan dengan ritual yang jauh dari kesan modern. Disamping itu penekanan dalam berzikir yang dipakai dalam The ESQ Way 165, diantaranya yaitu Asma’ul Husnah, lebih pada perenungan makna yang terkandung di dalamnya, sementara pada tarekat-tarekat kelompok sufi pada umumnya penekanan zikir lebih pada meresapi aura zikir itu sendiri, dan biasanya masing-masing aliran sufi tersebut memiliki model zikir secara khusus.[17] Materi training The ESQ Way 165 disamping dapat diikuti dalam bentuk training, juga bisa didapati dalam bentuk tulisan dalam buku-buku ESQ yang di tulis Ary Ginanjar Agustian, diantaranya yaitu, “Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual ESQ (Emotional Spiritual Quotient): The ESQ way 165 ; 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam”, juga buku yang lain, “Spiritual Company: Kecerdasan Spiritual Pembawa Sukses Kampium Bisnis Dunia”. Apabila kita telaah lebih lanjut dari tulisan-tulisan tersebut semakin menunjukkan pada kita bahwa secara global materi dalam The ESQ Way 165 ini banyak sisi kesamaan dengan ajaran tasawuf yang diajarkan dalam tarekat-tarekat. Sebagian kesamaan tersebut antara lain, muhasabah (melakukan perhitungan atau intropeksi diri), sabar dalam pengaturan diri dan hubungan dengan orang lain, raja' (optimisme), itsar (mendahulukan kepentingan orang lain), syaja'ah (ketrampilan sosial dan keberanian dalam menjalani kehidupan untuk berjuang bersama orang lain), dan dermawan yang berarti ada konsep untuk mempunyai harta terlebih dahulu.[18] Apabila model dalam The ESQ Way 165, dengan aspek sufistiknya ini diterapkan pada masyarakat modern dan dipraktekkan dengan sungguh-sungguh, tentunya masyarakat modern akan terhindar dari efek buruk dan kerusakan yang ditimbulkan oleh laju kemodernan itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA: [1] Harun Nasution, Islam Rasional, (Jakarta: Mizan, 1989), 181 [2] M. Solly Lubis, Umat Islam dalam Globalisasi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 33 [3] Nanang Qosim Yusuf, The 7 Awareness: 7 Kesadaran Tentang Keajaiban Hati dan Jiwa Menuju Manusia di Atas Rata-Rata, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), 135. [4] M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 57 [5] Nanang Qosim Yusuf, The 7 Awareness..., 122 [6] Situasi semacam ini disaksikan sendiri dari dekat oleh penulis terhadap keluarga dari beberapa orang yang menurut ukuran penulis adalah orang kaya, atau orang penting. Adapun keluarga dari orang yang dimaksud antara lain, keluarga dari pejabat penting di kementrian RI, keluarga dari salah seorang mufassir terkenal di Indonesia, dan keluarga dari seorang bos supermarket di USA. Disamping itu penulis juga pernah mengikuti acara selamatan di rumah salah seorang direktur PT. H.M. Sampoerna, yang ternyata anak-anaknya tidak ada yang tahu kalau di rumahnya sedang ada acara. Para anggota keluarga tersebut terkesan bila sedang berada di rumah hanya asik dalam kamarnya pribadinya masing-masing yang sudah dilengkapi dengan segala fasilitas dan perlengkapan modern. Selain itu penulis juga memperhatikan kehidupan salah satu anggota keluarga penulis sendiri yang saat ini menjadi pejabat di pemerintahan, juga sangat jarang berada di rumah berkumpul dengan keluarga. Demikian juga rumahnya yang dibangun di Surabaya juga lebih sering kosong. [7] http://mubarok-institute.blogspot.com/2008/02/penyuluh-agama-dan-problem-masyarakat.html. Diakses 17 Januari 2013. [8] Peter L. Berger, Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia, (diterjemahkan dari buku asli The Homeless Mind: Modernization and Consciousness, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 14. [9]Khadim al-Haramain asy-Syarifain (Pelayan kedua Tanah Suci) Fahd ibn al-‘Aziz Al Sa’ud, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Medinah Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mush-haf asy-Syarif, tt.), 647. [10] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual ESQ (Emotional Spiritual Quotient) : The ESQ way 165 ; 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga, 2007), 38. [11] Ibid, 39. [12] Mohammad Soleh dan Imam Musbikin, Agama Sebagai Terapi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 35. [13] Syekh Fadhilla, Dasar-dasar Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka sufi, 2003), 134. [14] Penulis menemukan tidak sedikit seorang Muslim yang berpendapat semacam ini, salah satunya ditemukan di http://metafisis.wordpress.com/category/sufi-sesat/. Diakses 17 Januari 2013. [15] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia sukses…, 44. [16] Penulis telah mengikuti sebagian dari kegiatan utama The ESQ Way 165 yang berupa training yang antara lain: ESQ Leadership Training yang dilaksanakan di Recreation Hall PT. Ipmomi Paiton Probolinggo 23-25 November 2012, ESQ Leadership Training yang dilaksanakan di hotel Equator Surabaya 25-27 Januari 2013. Namun untuk ESQ Leadership Training yang di Surabaya, yang dilaksanakan 3 hari ini hanya diikuti oleh penulis selama 2 hari, yaitu pada tanggal 25 dan 26 Januari, karena pada tanggal 27 Januari penulis harus mengikuti training lain yaitu ESQ Parenting Basic, yang juga merupakan salah satu kegiatan dari The ESQ Way 165. [17] Gambaran ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis pada waktu mengikuti training di The ESQ Way 165, yang dibandingkan dengan pengalaman penulis dalam mengikuti tarekat Syadziliyah di Jombang dan pengalaman mengikuti tarekat Naqsabandi di daerah Subra, Mesir, disamping juga dari membaca beberapa literatur mengenai aliran sufi yang lain. [18] Lihat buku tulisan Ary Ginanjar Agustian“Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual ESQ (Emotional Spiritual Quotient): The ESQ way 165 ; 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam” dan Lihat buku tulisan Ary Ginanjar Agustian yang lain “Spiritual Company: Kecerdasan Spiritual Pembawa Sukses Kampium Bisnis Dunia”, lalu bandingkan dengan materi dalam beberapa tarekat (kelompok sufi), seperti tarekat Syadziliyah dan tarekat Naqsabandi. |