Tulisan ini adalah kutipan dari sebagian tulisan saya untuk laporan Kunjungan Kerja Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Provinsi Jawa Timur.
|
Polemik Tol Tengah Kota dan Tata Ruang Surabaya
Written by Basyir Baick
January, 13 2013
Written by Basyir Baick
January, 13 2013
Dikatakan bahwa secara pribadi, Walikota Surabaya secara teknis mempunyai pengetahuan yang mumpuni yang dikuatkan dengan beberapa sertifikat di beberapa bidang terkait pembangunan Tata Ruang yang antara lain: Transpotrasi, Tata Ruang, Pembangunan Kota Baru, Urban Managemen, dan bahkan juga Urban Regional Corporation (kerja sama antar regional), yaitu mengenai pembangunan Kota secara regional yang tidak terlepas dengan daerah sekitar, misalkan antara Surabaya dengan Sidoarjo, Gresik, dan Madura.
Menurut walikota Surabaya, secara teori cara yang lebih efektif untuk mengurangi kemacetan jalan-jalan di kota bukan dengan menambah jalan di dalam kota, tapi dengan cara membuat peralihan antar moda transportasi, dan memperlebar daerah pembangunan. Belajar dari kesalahan pembangunan Jakarta, bahwa semua urusan terpusat di kota Jakarta, sehingga menimbukan kemacetan yang parah di jalan-jalan, maka untuk pembangunan kota Surabaya ke depan perlu membagi peran dengan Daerah sekitar, yang diantaranya dengan wilayah Sidoarjo, Gresik, dan Madura. Penolakan pembangunan jalan tol tengah kota tersebut adalah demi menyiapkan tatanan pembangunan kota Surabaya dan daerah di sekitarnya pada 10 hingga 20 tahun ke depan. Memang tidak salah bila dikatakan bahwa saat ini jalan-jalan di dalam kota Surabaya sudah semakin sesak dan semakin sering terjadi kemacetan. Namun perlu diingat bahwa hal tersebut terjadi karena saat ini pembangunan jalan dan pembangunan-pembangunan infrastruktur yang lain saat ini memang lebih banyak terfokus di wilayah tengah kota Surabaya, sehingga orang berbondong-bondong ke tengah kota Surabaya. Dengan demikian apabila di tengah kota Surabaya dibangun jalan tol, maka arah pembangunan kedepan secara otomatis akan semakin terfokus di tengah kota Surabaya, dan orang akan semakin banyak lagi yang datang dan terpusat di wilayah tengah Surabaya. Dengan perekonomian yang semakin membaik maka semakin banyak orang yang mampu membeli mobil dan semakin macet pula jalan-jalan di kota Surabaya ini. Perlu diingat pula, bahwa kendaraan tidak hanya membutuhkan jalan namun juga memerlukan lahan parkir, maka dapat dibayangkan bagaimana semakin sesaknya Surabaya dimasa mendatang apabila jalan tol tengah kota tersebut jadi dibangun. Dan yang tidak kalah memprihatinkan adalah dengan bertambahnya jumlah kendaraan, maka bertambah juga masalah polusi yang tentunya akan semakin memperburuk kota Surabaya. Sebagai solusi mengurai kemacetan di dalam kota Surabaya, Walikota Surabaya berusaha menempuh beberapa langkah yang menurutnya lebih efektif, diantaranya yaitu:
Dengan membangun 7 akses, yaitu lingkar Timur, Tengah, Barat, Selatan, dan 3 jalur yang lain, maka untuk masuk ke Surabaya dapat melalui jalur yang lebih banyak. Dengan model pembangunan semacam ini diharapkan daerah yang maju nantinya tidak hanya terfokus di tengah kota Surabaya, namun lebih merata di semua sisi, dan bahkan juga di daerah-daerah lain sekitar Surabaya. Model memperluas wilayah pembangunan semacam ini sudah terbukti sukses sebagaimana pemindahan terminal bus antar kota yang dulunya berada di tengah kota Surabaya, yaitu di Joyoboyo, yang dipindah ke Bungurasih, yang sebenarnya berada di wilayah Sidoarjo berbatasan dengan wilayah Surabaya. Dengan pemindahan tersebut jalan-jalan di kota Surabaya terhindar dari overload yang terjadi sebagai akibat dari adanya terminal bus antar kota tersebut. Sementara itu, di daerah Sidoarjo sendiri dengan adanya terminal Bungurasih tersebut kemajuan pembangunan di wilayahnya juga semakin pesat. Adapun dari 7 akses di pinggir Kota Surabaya yang saat ini sedang dibangun yaitu lingkar timur, dengan jalur dari daerah Kenjeran terus mentok hingga lingkar luar timur. Adapun yang lingkar tengah timur tinggal yang akses dari UPN ke Gunungannyar. Selanjutnya akan dibangun lingkar barat yang bisa menembus dari tol Surabaya-Mojokerto (Sumo) hingga ke Pelabuhan Tanjung Perak. Demikian juga dari Unesa, PTC, terus sampai ke tol Surabaya-Mojokerto. Dengan demikian akses ke Surabaya banyak sekali, dan melalui jalur pinggir bukan seperti saat ini yang hanya Jalan Ahmad Yani, yang berada di tengah. Untuk mengurangi kemacetan di jalan juga perlu adanya usaha mengurangi pemakaian mobil-mobil pribadi, dan diganti dengan mengoptimalkan pemakaian moda transportasi umum yang nyaman. Mengenai hal ini, kita telah belajar dari pemakaian Busway di Jakarta yang dinilai kurang efektif karena jumlah yang tersedia tidak mampu menampung jumlah ideal penumpang yang dihitung dari jumlah kepadatan penduduk. Karena jumlah Busway terlalu sedikit sehingga penumpang menunggunya lama, dan kalaupun dapat Busway juga tidak nyaman karena terlalu sesak, maka masyarakat Jakarta kembali lebih memilih memakai kendaraan pribadi. Disamping itu Busway juga dinilai kurang efektif karena bahkan menghabiskan kapasitas jalan. Dari pengalaman kurang efektifnya pemakaian Busway tersebut, maka kita memilih moda transportasi lain yang dinilai cocok untuk Surabaya. Adapun moda transpotasi yang direncanakan untuk Surabaya tersebut yaitu: dari ujung timur sampai barat akan digunakan monorel. Monorel ini dinilai efektif karena tidak terlalu banyak memakan lahan, mengingat badan jalan di timur dan barat juga relatif sempit. Sedang untuk jalur utara-selatan rencananya menggunakan trem. Dipilihnya moda transportasi jenis kereta api (monorel dan trem) ini karena apabila dihitung antara daya angkut dan pengeluaran biaya bahan bakar, jatuhnya 5 kali lebih murah dibandingkan dengan memakai bus. Bahkan di negara Jepang sendiri, yang notabene sebagai produsen kendaraan bus yang dijual di luar negara Jepang, namun di dalam negerinya saat ini lebih mengembangakan penggunaan jenis kereta api. Untuk angkutan kota nantinya akan diadakan peremajaan (diganti dengan yang baru), kalau bisa berAC. Adapun penghasilan semua sopir kendaraan umum nantinya akan memakai sistim gaji, dan mereka tidak boleh lagi ngetem di pinggir jalan menunggu penumpang sampai kendaraannya penuh. Ini karena kegiatan ngetemnya angkutan umum tersebut dapat menyebabkan kemacetan di jalan, di samping juga mengurangi kenyamanan penumpang karena menunggu kendaraan yang tidak segera berangkat. Dengan kurang nyamannya penumpang kendaraan umum, maka orang akan lebih memilih memakai kendaraan pribadi, sebagaimana yang terjadi saat ini. Adapun untuk pembangunan frontage road yang berada di tengah kota, yang saat ini sedang dalam proses pembangunan, tentunya akan menambah kapasitas jalan dalam menampung kendaraan untuk mengurangi kemacetan di tengah kota. Dengan demikian pembangunan tol tengah kota untuk mengurai kemacetan lalu lintas tidak diperlukan lagi. Dulu direncanakan dibuat tol tengah kota karena pada saat itu tidak ada pikiran membangun frontage road. Selain masalah perbedaan pendapat tentang tol tengah kota, program-program tata ruang kota Surabaya yang lain dinilai berjalan lancar, salah satunya program pengembangan kepedulian masyarakat terhadap kampung mereka sendiri, sehingga menjadi indah dan mandiri. Demikian juga dengan penataan pedagang kaki lima, serta pemberdayaan pengamen-pengamen untuk menghibur pengguna taman kota. Bagi PKL ditata pada tempat khusus sehingga tidak mengganggu aktivitas pengguna jalan. Adapun untuk pengamen jalanan, ditempatkan di taman kota untuk menghibur pengunjung, dan lain-lain. Adapun untuk Kebun Binatang Surabaya (KBS), saat ini pengelolaannya masih sederhana, dan kedepan akan diadakan perbaikan dengan pengelolaan yang profesional. Untuk lokasi KBS, yang berada di tengah kota, tersebut tidak ada rencana untuk dipindahkan ke daerah lain, dan dijamin tidak akan menimbulkan kemacetan, karena sudah disusun perencanaan sedemikian rupa. Namun demikian, masih terdapat hal-hal yang bersifat dilematis, khususnya yang berhubungan dengan masalah lokalisasi pelacuran. Sebagaimana gang Dolly yang merupakan lokalisasi terbesar di Asia, untuk sekedar menutupnya tidak susah untuk dilakukan, namun bagaimana dengan pekerja disana. Tentunya langkah penutupan lokalisasi pelacuran yang tanpa dipersiapkan solusinya, pada gilirannya akan menimbulkan masalah-masalah lain, seperti masalah ekonomi, masalah sosial dan lain-lain. Sebagaimana kita ketahui bahwa lapangan pekerjaan yang tersedia, termasuk di Surabaya saat ini sangatlah terbatas, sehingga bila lokalisasi Dolly ditutup, bukan berarti masalah pelacuran telah selesai, bahkan yang mungkin terjadi adalah para pelacurnya akan beroperasi menyebar di mana-mana, karena mereka perlu bekerja mencari uang. Adapun kalau praktik pelacuran sudah menyebar kemana-mana dan tidak terkendali, maka akan muncul masalah sosial baru lagi, yang akan semakin sulit untuk diselesaikan. |