PEMBEBASAN KELOMPOK MINORITAS (Telaah Atas Pemikiran Abdurahman Wahid) Proposal tesis oleh: Sholihudin Al-Ayubi |
A. Latar belakang
Islam sebagai sebuah agama merupakan institusi sosial yang sudah tentu harus berpartisipasi aktif dalam proses transformasi sosial. Peran penting agama ini di wujudkan dengan manifestasI nilai-nilai luhurnya sehingga tidak hanya sekadar menjadi peran artifisial, tetapi secara faktual suplemen agama di dalam kehidupan di masyarakat tampak kurang fungsional. Agama kurang dapat di perankan oleh pemeluknya dalam memberikan penghargaan terhadap persoalan-persoalan kemanusian universal yang di hadapi umat.
Yang lebih ironis lagi adalah agama yang seharusnya memberikan penghormatan tinggi pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang menjadi justru sebaliknya. Agama jusru di jadikan alat legitimasi para pemelunya untuk mencurigai pemikiran-peikiran kontemporer sebagai produk-produk pemikiran sekuler barat. anggapan semacam ini berbahaya karena dapat menjadikan agama sebagai nilai yang tidak fungsional yang tidak mampu menjangkau wilayah-wilayah problematika kemanusian.
Dari latar belakang inilah Abdurrahman Wahid berusaha untuk mengembalikan peran agama dan mejawab problematika umat. Sebagai mana Hassan Hanafi yang merekonstruki tradisi keagamaan masyarakat menuju ideologi pembebasan tanpa harus kehilangan identitas keislamanya.[1] Abdurrahman Wahid juga menjadikan islam sebagai untuk pembebasan. “islam harus di tilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejaheraan masyarakat.”[2] Lebih lanjut Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa islam hanya akan dapat memberikan sumbangan bagi proses pemberdayaan masyarakat jika ia sendiri menonjolkan watak pembebasan. Fungsi pembebasan agama bagi Abdurrahman Wahid harus benar-benar di implementasikan dari kehidupan praktis.[3] pernyataan ini menunjukansecara jelas bahwa Abdurrahman Wahid bermaksud mengfungsikan islam dalam kehidupan masyrakat melalui pengembangan nilai-nilai dasarnya. Tanpa fungsionalisasi nilai-nilai universal islam yang demikian, sebagai sebuah institusi sosial islam akan menjadi agama yang tidak produktif dan tidak relevan dengan dinamika dan problematika yang berkembang di masyarakat. Melihat fungsi agama sebagai pembebasan, agama perlu di perankan secara aktif dalam pembebasan manusia dari struktur-struktur penindasan.
Dengan teologi pembebasan, Abdurrahman Wahid berusaha mengambil terobosan baru dalam menggugah kepekaan rohani masyarakat agar tidak menjadikan agama sebagai tempat mencari kenikmatan spiritual saja dan me;estarikan kesengsaraan sosial. Agama seharusnya di jadikan basis pergerakan dalam memperjuangkan kaum pinggiran. Makna pembebasan bukan saja di pahami sebagai pembebasan dalam arti upaya mengeluarkan uamat dari impitan structural saja, tetapi harus dibarengi dengan upaya pembebasan kesadaran masyarakat dari ketidaktahuannya. Pembebasan juga harus dimaknai dengan pembebasan dari struktur sosial yang membelenggu untuk mencapai tujuan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni.
Penekanan Abdurrahman Wahid dalam teologi pembebasan ini merupakan salah satu upaya menciptakan sintesis anatar agama dan dinamika sosial yang terus berkembang. Dari sintesis ini diharapkan kepentingan agama dan kepentingan sosial dapat berjal;an secara paralel. Hal ini tampak dalam gagasan-gagasannya yang memiliki muatan penawaran ideology yang memprotes tatanan sosial yang ada.
Dari sekian kelompok minoritas tertindas yang mendapatkan pembelaan Gus dur, dapat disebutkan antara lain: pembelaannya terhadap Inul Daratista yang dikecam oleh para seniman terkemuka; terhadap Ulil abshor Abdallah, aktivis islam liberal yang divonis hukuman mati oleh forum ulama umat Indonesia (FUUI); terhadap pesantren al Mukmin, Ngeruki yang diancam ditutup oleh polisi karena dituduh terkait dengan terorisme Indonesia; terhadap kasus ahmadiyah oleh MUI dan kelompok-kelompok muslim fundametalis; terhadap warga khonghucu Surabaya yang didiskriminasikan hak-haknya dalam peradilan; terhadap TKI di arab Saudi yang divonis hukuman pancung dan lain sebagainya.
Didasarkan pada latar belakang di atas, terkait dengan pembelaan Gus Dur terhadap kelompok minoritas menarik untuk diteliti sehingga dari penelitian ini akan didapatkan kebenaran ilmiahnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka agar tidak menimbulakan kesimpang siuran pokok permasalahan yang akan diteliti dan dibahas ini adalah difokuskan pada pemikiran Abdurahman wahid khususnya mengenai teologi pembebasan kaum minoritas sebagai aktualisasi humanitarisme. Dalam hal ini dapat diajukan tiga rumusan masalah, sebagai berikut:
1. Apa bentuk-bentuk pembelaan Abdurahman wahid terhadap kelompok minoritas?
2. Apa latar belakang pembelaan Abdurahman wahid terhadap kelompok minoritas?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan apa yang dimaksudkan dalam rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mengetahui bentuk-bentuk pembelaan Abdurahman wahid terhadap kelompok minoritas
2. Mengetahui latar belakang pembelaan Abdurahman wahid terhadap kelompok minoritas?
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Akademisi Lembaga
a. Menambah khazanah keilmuan bidang teologi dengan metodologi hermeneutika, khususnya tentang peran sosial dan politik perempuan
b. Memotivasi para akademisi untuk lebih konstruktif mengembangkan penelitian ini
2. Bagi Peneliti
a. Memperluas wawasan kajian pemikiran islam khususnya pemikiran pembebasan kaum minoritas Abdurahman Wahid
3. Bagi Pemimpin dan Masyarakat Muslim
b. Memperluas wawasan kajian pemikiran islam khususnya pemikiran teologi pembebasan kaum minoritas Abdurahman Wahid
a. Memotifasi para pemimpin dan masyarakat dalam mengimplementasikan teologi pembebasan kaum minoritas dalam konteks realitas sosial kekinian.
E. Kajian Teoritik
1. Kajian Terdahulu
Sebagai salah satu tokoh bangsa kehadiran abdurahman wahid sangat penting bagi pembentukan wacana keislamaan dan humanitarisme di Indonesia, maka ada beberapa sarjana atau individu yang telah melakukan kajian dan penelitian terhadap pemikiranya. Sebagaian kajian tersebut dituangkan dalam bentuk buku, Tesis, dan Disertasi.
Beberapa tokoh yang berusaha mengambarkan dan menafsirkan pemikiran Gus Dur, seperti greg Barton, yang mengupas tentang beografi Gus Dur, pembentukan wacana Kritis dan keterlibantannya dalam politik praktis.[4] Syamsul Bakri dan Mudhofir , yang membahasa tentang pembentukan wacana Gus Dur dan Nurcholis Madjid seputar universalisme islam dan humanitarisme,[5] dan Listiyono Santosa, yang mengupas mengenai landasan keagamaan tentang politik Gus Dur baik wacana maupun aksinya dan Wasid, yang mengulas pemikiran Gus Dur sebagai Sang guru Bangsa; Pergolakan islam, Kemanusiaan, dan Kebangsaan,[6]
Di antara tulisan yang mengkaji pemikiran Gus dur secara akademis adalah Khoirul Umami, yang mengupas menegenai hubungan Agama dan Negara,[7] dan Said jamhari, yang membahas Model Kepemimpinan karismatik Gus Dur.[8] Sementara artikel yang pernah terbit yang membincangkan Gus Dur dan pemikiranya adalah tulisan Greg Barton dan Douglas E. Ramage, yang mengulas bahwa pemikiran dan aksi Gus Dur berbasiskan nilai-nilai demokrasi, toleransi beragama, dan pancasila mencerminkan kuatnya politik kebangsaan.
Namun dari sekian banyak kajian-kajian tersebut, peneliti beum menemukan secara utuh dan mendalam mengenai kajian teologi pembebasan terhadap kelompok minoritas.
2. Konsep Pembebasan sebagai Aktualisasi Humanitarisme
Humanitaianisme merupakan sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap kerukunan sosial (sosial harmony).[9] Istilah Humanitarianisme digunakan Abdurrahman Wahid untuk mengungkap suatu sikap dalam melihat segala kebaikan dalam perspektif kemanusiaan yang dipadukan dengan perhatian terhadap kesejahteraan individu.[10] Humanitarianisme Abdurrahman Wahid merupakan pemikiran fundamentalnya dalam memberikan apresiasi luas terhadap segala hal yang baik dalam kehidupan manusia dan dalam memberikan perhatian pada kesejahteraan setiap individu. Sikap humanitarian ini dikemukakan tanpa membedakan latar belakang agama, kultur dan etnis.
Perhatian utama Abdurrahman Wahid terhadap Humanitaianisme begitu menonjol dalam pemikirannya. Persoalan Humanitarianisme ini begitu penting karena menurut Abdurrahman Wahid, manusia memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam tatanan kosmologi sehingga setiap individu harus memperoleh perlakuan dan hak-hak dasar yang sama.[11] Pandangan Humanitarianisme menitikberatkan pada kebebasan individu untuk menyatakan pendapat, keyakinan, keimanan, dan kemerdekaan untuk berserikat. Abdurrahman Wahid mengembangkan persoalan Humanitaianisme ini dalam konteks demokrasi di Indonesia. Demokrasi sebagai manifestasi dari semangat Humanitaianisme yang ditekankan Abdurrahman Wahid dianggap begitu relevan karena perikehidupan dan perikemanusiaan yang utuh didalam Negara yang penduduknya heterogen hanya dapat dipakai dengan demokrasi
Pandangan Humanitaianisme Abdurrahman Wahid berangkat dari ide dasar islam berupa jaminan-jaminan yang diberikan oleh islam kepada umat manusia. Jaminan-jaminan dasar itu adalah jaminan atas keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani diluar koridor hokum, keselamatan keyakinan agama masing-masing tenpa adanya pemaksaan untuk berpindah agama, keselamatan keluarga dan keteurunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar ketentuan hokum, serta jaminan terhadap keselamatan profesi.[12] Abdurrahman Wahid merumuskan jaminan dasar islam itu sebagai dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat. Lebih lanjut Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa jaminan dasar atas unsur-unsur utama kemanusiaan harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. Perwujudan ini harus memerhatikan individu danm masyarakat tanpa harus mempertentangkan satu sama lain.
Pandangan Humanitarianisme Abdurrahman Wahid ini bertolak dari nilai universalisme islam yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Abdurrahman Wahid sengaja menampilkan isu-isu yang diambil dari sepirit agama tanpa harus disertai dengan upaya penampakan simbolisme agama. Hal ini berada dengan kalangan islam lain yang lebih cenderung memunculkan isu-isu agenda islamisasi dengan memakai agam beserta simbol-simbolnya dalam menunjukkan superioritasnya terhadap masyarakat lain.
Dengan pandangan Humanitarianisme yang peduli pada unsur-unsur utama kemanusiaan ini, Abdurrahman Wahid dapat dengan muda menerima dan bekerja sama dengan unsur-unsur ideologi dan pemikiran yang datang dari luar islam dalam upaya membebaskan manusia dari ketidak adilan struktur sosial-ekonomi dan kezaliman rezim-rezim ditaktor. Dengan memperhatikan pentinya semangat Humanitarianisme, Abdurrahman Wahid berharap islam memberikan perangkat yang akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, semangat Humanitarianisme dan perjuangan menegakkan hak asasi manusia harus efektif dan dapat memasuki wilayah masyarakat bahwa sehingga isu Humanitarianisme dan perjuangan menegakkan HAM tidak menjadi komoditi politik yang menguntungkan kalangan tertentu saja. Abdurrahman Wahid secara tegas mengatakan pandangannya sebagi berikut.
Isu humanitarianisme yang dikemukakan Abdurrahman Wahid sebagai bagian dari upaya menciptakan kosmopolitanisme peradaban islam berpijak pada dasar komitmen kemanusiaan islam (ahlu sunnah waal-jama’ah) yang digunakanya sebagai dasar bagi peyelesaian tuntas persoalan utama yang di hadapi umat manusia secara umum.[13] Bagi Abdurrahman Wahid, islam dengan pandangan dunia dan cita-cita utamanya dapat menjadi fondasi untuk sebuah pandangan dunia humunitis yang dalam. “Pandangan humanitarianisme Abdurrahman Wahid ini tampak dimaksudkan untuk lebih menonjolkan fungsi islam sebagai ratmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam) tanpa harus membedakan latar belakang agama, suku, dan ideology. Pandangan dan sikap Abdurrahman Wahid yang humanis yang tidak menjadikan isu “khas islam” sebagai isu sentral telah dapat diterma oleh berbagai kalangan termasuk dari non muslim, Abdurrahman Wahid tidak menampakkan dan mengomunikasikannya dengan model-model yang bernuansa formalisasi islam.
Hanya dengan semangat humanitarianisme inilah akan tercipta solidaritas sosial yang sangat kuat karena unsur-unsur untuk kemanusiaan dan demokrasi akan berada diatas sektarioanisme agama. Semangat Humanitarianisme yang demikian diharapkan mampu menciptakan suasana saling membantu dan saling mendukung antar manusia.[14] Dengan demikan, semangat Humanitarianisme mesti diwujudkan dalam tatanan kehidupan riil sebagai manifestasi dari islam yang menekankan adanya kepedulian yang tinggi terhadap persoalan-persoalan kemanusian.
Perhatian utama atas persoalan Humanitarianisme yang dikemukakan Abdurrahman Wahid ini dapat dimengerti dalam kerangka kontribusi muslim di dalam pembangunan peradaban global yang menempatkan umat islam sebagai bagaian dari umat manusia. Tanpa semangat Humanitarianisme ini akan sulit bagi umat islam untuk bersama-sama umat lain membangun peradaban manusia. Tali pengikat antar kelompok manusia adalah kemanusiaan dan bukan sektarioanisme agama atraupun ideology.
Dari pemikiran tentang Humanitarianisme ini tampak bahwa Abdurrahman Wahid bermaksud menonjolkan watak keagamaan yang meminjam istilah Gutav mensching, disebut agam universal, yaitu prinsip keagamaan yang menekankan nilai pembebasan dan perhatian atas eksistensi kemanusiaan.[15] Pandangan Abdurrahman Wahid ini juga menunjukkan keinginannya untuk membumikan semangat kemanusiaan sejati yang dapat mempersempit jarak perbedaan diantara manusia. Perbedaan agam, suku dan ideology diupayakan dan diolah secara baik sehingga tidak menjadi penghalang bagi terciptanya egalitarianisme kemanusiaan.
Menurut AS Hikam, Humanitarianisme yang ditunjukkan Abdurrahman Wahid ini dimaksudkan untuk mengembangkan asas kesastraan (egalitarianisme).[16] Egalitarianisme kemanusiaan perlu menjadi perhatian seluruh umat tanpa latar belakang agama, suku, jenis kelamin, dan bahasa. Dari semangat Humanitarianisme inilah Abdurrahman Wahid begitu proaktif mengedepankan pluralisme dalam melawan eksklusifisme dan sektarioanisme agama. Keduanya dianggap bertentangan dengan prinsip Humanitarianisme islam.
Dengan gagasan Humanitarianisme yang menjadikan manusia sebagai objek terpenting ini, Abdurrahman Wahid bermaksud mengajak umat islam dan seluruh komponen bangsa untuk memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang baik yang berdasarkan asas-asas kemanusian universal. Upaya pengabdian terhadap sesama umat perlu dilakukan oleh setiap komponen masyarakat tanpa memandang latar belakang cultural, religius, dan soliologis.
F. Metodologi Penelitian
Untuk menelaah permasalahan terkait dengan bentuk-bentuk pembebasan Abdurahman Wahid terhadap kaum minoritas dan latar belakangan dari sikap itu, maka perlu direncanakan metodologi penelitian yang tepat, yaitu sebagai berikut:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian adalah pendekatan diskriptif kualitatif dengan jenis penelitian studi kepustakaan (library research).
2. Sumber data :
a. Data primer berupa buku-buku karya Gus Dur antara lain: Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Prisma Pemikiran Gus Dur, dll.
b. Data sekunder berupa buku-buku karya pemikiran orang lain seperti biografi Gus Dur karya Greg barton, dll.
3. Teknik pengumpulan data adalah dokumentasi dan wawancara.
4. Teknik Analisis Data adalah hermeneutik kritis[17]
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memepermudah peruses pembahasan, maka penulisan tesis ini akan disusun dalam beberapa bab dengan menyebut pula beberapa sub-sub bab yang menyertainya sesuai dengan keperluan kajian yang dimaksudkan. Antara lain:
Bab pertama, mengurai tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian teoritik, metode penelitian dan sisteatika pembahasan.
Bab kedua, mengurai konsep teologi islam, perkembangan teologi islam, watak dan fungsi teologi dalam pembebasan kaum tertindas, berbasis problematika ke-indonesia-an Bahasan ini menjadi penting, sebab berhubungan dengan pergolakan kehidupan Gus Dur hingga kristalisasi pemikiranya terkait dengan pembelaaan terhadap kelompok minoritas tertindas.
Bab ketiga, berfungsi mengambarkan tentang biografi Gus dur dan proses sosialisasi serta dinamika dan karakteristik pemikiranya dalam kehidupan beragama dan bernegara. Dalam bahasan ini juga difokuskan mengenai kontruksi sosial dan budaya yang berkembang hinggga turut mempengarui implementasi pemikiran-pemikiran utamanya pembelaanya terhadap kaum minoritas tertindas.
Bab keempat, merupakan analisis kritis atas pemikiran Gus Dur mengenai bentuk-bentuk pembelaan terhadap kaum minoritas tertindas, dan latar belakang yang melandasi pembelaan Gus Dur terhadap kaum tersebut.
Bab kelima, penutup yang digunakan sebagai wadah memberikan kesimpulan dan saran serta rekomendasi untuk peneliti-peneliti berikutnya tentang Gus dur dalam aspek lainnya.
[1] Lebih lanjut lihat Hasan Hanafi, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, terj. Son Haji Sholih, (Jakarta: P3M, 1991), 54-57.
[2] Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, 74. walaupun teologi Pembebasan berasal dari kalangan khatolik Amerika latin, gagasan-gagasannya telah menjadi aliran pemikiran dan pergerakkan yang menonjol sejak tahun 1970-an. Abdurrahman Wahid kalangan Prisma yang lain memberikan penilaian positif ideology ini. Lihat Karel A. Steenbrink, Perkembangan Teknologi di Dunia Kristen Modern,( Yogyakarta: IAIN SUKA Press, 1997), 190.
[3] Lihat Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan…, 168.
[4]Greg Barton, Biografi Gus Dur (Yogyakarta, Penerbit LKiS, 2004)
[5]Syamsul Bakri dan Mudhafir, Jombang-Kairo, Jombang-Chicago; Sintsesis Pemikiran Gus dur dan Cak Nur (Solo; Penerbit Tiga serangkai, 2004)
[6]Wasid, Gus Dur Sang Guru bangsa; Pergolakan islam, Kemanusiaan, dan Kebangsaan, (Yogyakarta: penerbit Interpena, 2010)
[7]Khoirul Umami, Pemikiran politik abdurahman wahid; studi tentang pola hubungan Agama dan Negara di Indonesia, tesis Pasca sarjana IAIN Sunan ampil, 2002.
[8]Said Jamhari, Kepemimpinan Kharismatik Nahdatul Ulama’: Studi Kasus Kepemimpinan Abdurahman Wahid, Disertasi Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998.
[9] Lihat laode Ida dan Ismail S, Ahmad, ….,78.
[10] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiaran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj.Nanang Tahqiq, Pustaka Antara, Jakarta, 1999, 407.
[11] Ibid, 408.
[12] Abdurrahman Wahid, Universalisme Islam…., 3.
[13] Lihat AS. Hikam, “Gus Dur dsan Pemberdayaan Politik”Umat”Arif Affandi, Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Umat Model Gus Dur dan Amin Rais. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, 94-95.
[14] Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, editor Zaini Shofari Al-raef, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hlm. 96.
[15] Gustav Mensching, Religion, Culture and Society: a Reader in the Sociology of religion, Jhon Welley and Sons Inc, New York, 1962, hlm. 259.
[16] AS Hikam, op, cit, hlm. 95.
[17]Untuk mengetahui secara jelas mengenai teori ini lihat Hans Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004), 10-48.
Islam sebagai sebuah agama merupakan institusi sosial yang sudah tentu harus berpartisipasi aktif dalam proses transformasi sosial. Peran penting agama ini di wujudkan dengan manifestasI nilai-nilai luhurnya sehingga tidak hanya sekadar menjadi peran artifisial, tetapi secara faktual suplemen agama di dalam kehidupan di masyarakat tampak kurang fungsional. Agama kurang dapat di perankan oleh pemeluknya dalam memberikan penghargaan terhadap persoalan-persoalan kemanusian universal yang di hadapi umat.
Yang lebih ironis lagi adalah agama yang seharusnya memberikan penghormatan tinggi pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang menjadi justru sebaliknya. Agama jusru di jadikan alat legitimasi para pemelunya untuk mencurigai pemikiran-peikiran kontemporer sebagai produk-produk pemikiran sekuler barat. anggapan semacam ini berbahaya karena dapat menjadikan agama sebagai nilai yang tidak fungsional yang tidak mampu menjangkau wilayah-wilayah problematika kemanusian.
Dari latar belakang inilah Abdurrahman Wahid berusaha untuk mengembalikan peran agama dan mejawab problematika umat. Sebagai mana Hassan Hanafi yang merekonstruki tradisi keagamaan masyarakat menuju ideologi pembebasan tanpa harus kehilangan identitas keislamanya.[1] Abdurrahman Wahid juga menjadikan islam sebagai untuk pembebasan. “islam harus di tilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejaheraan masyarakat.”[2] Lebih lanjut Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa islam hanya akan dapat memberikan sumbangan bagi proses pemberdayaan masyarakat jika ia sendiri menonjolkan watak pembebasan. Fungsi pembebasan agama bagi Abdurrahman Wahid harus benar-benar di implementasikan dari kehidupan praktis.[3] pernyataan ini menunjukansecara jelas bahwa Abdurrahman Wahid bermaksud mengfungsikan islam dalam kehidupan masyrakat melalui pengembangan nilai-nilai dasarnya. Tanpa fungsionalisasi nilai-nilai universal islam yang demikian, sebagai sebuah institusi sosial islam akan menjadi agama yang tidak produktif dan tidak relevan dengan dinamika dan problematika yang berkembang di masyarakat. Melihat fungsi agama sebagai pembebasan, agama perlu di perankan secara aktif dalam pembebasan manusia dari struktur-struktur penindasan.
Dengan teologi pembebasan, Abdurrahman Wahid berusaha mengambil terobosan baru dalam menggugah kepekaan rohani masyarakat agar tidak menjadikan agama sebagai tempat mencari kenikmatan spiritual saja dan me;estarikan kesengsaraan sosial. Agama seharusnya di jadikan basis pergerakan dalam memperjuangkan kaum pinggiran. Makna pembebasan bukan saja di pahami sebagai pembebasan dalam arti upaya mengeluarkan uamat dari impitan structural saja, tetapi harus dibarengi dengan upaya pembebasan kesadaran masyarakat dari ketidaktahuannya. Pembebasan juga harus dimaknai dengan pembebasan dari struktur sosial yang membelenggu untuk mencapai tujuan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni.
Penekanan Abdurrahman Wahid dalam teologi pembebasan ini merupakan salah satu upaya menciptakan sintesis anatar agama dan dinamika sosial yang terus berkembang. Dari sintesis ini diharapkan kepentingan agama dan kepentingan sosial dapat berjal;an secara paralel. Hal ini tampak dalam gagasan-gagasannya yang memiliki muatan penawaran ideology yang memprotes tatanan sosial yang ada.
Dari sekian kelompok minoritas tertindas yang mendapatkan pembelaan Gus dur, dapat disebutkan antara lain: pembelaannya terhadap Inul Daratista yang dikecam oleh para seniman terkemuka; terhadap Ulil abshor Abdallah, aktivis islam liberal yang divonis hukuman mati oleh forum ulama umat Indonesia (FUUI); terhadap pesantren al Mukmin, Ngeruki yang diancam ditutup oleh polisi karena dituduh terkait dengan terorisme Indonesia; terhadap kasus ahmadiyah oleh MUI dan kelompok-kelompok muslim fundametalis; terhadap warga khonghucu Surabaya yang didiskriminasikan hak-haknya dalam peradilan; terhadap TKI di arab Saudi yang divonis hukuman pancung dan lain sebagainya.
Didasarkan pada latar belakang di atas, terkait dengan pembelaan Gus Dur terhadap kelompok minoritas menarik untuk diteliti sehingga dari penelitian ini akan didapatkan kebenaran ilmiahnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka agar tidak menimbulakan kesimpang siuran pokok permasalahan yang akan diteliti dan dibahas ini adalah difokuskan pada pemikiran Abdurahman wahid khususnya mengenai teologi pembebasan kaum minoritas sebagai aktualisasi humanitarisme. Dalam hal ini dapat diajukan tiga rumusan masalah, sebagai berikut:
1. Apa bentuk-bentuk pembelaan Abdurahman wahid terhadap kelompok minoritas?
2. Apa latar belakang pembelaan Abdurahman wahid terhadap kelompok minoritas?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan apa yang dimaksudkan dalam rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mengetahui bentuk-bentuk pembelaan Abdurahman wahid terhadap kelompok minoritas
2. Mengetahui latar belakang pembelaan Abdurahman wahid terhadap kelompok minoritas?
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Akademisi Lembaga
a. Menambah khazanah keilmuan bidang teologi dengan metodologi hermeneutika, khususnya tentang peran sosial dan politik perempuan
b. Memotivasi para akademisi untuk lebih konstruktif mengembangkan penelitian ini
2. Bagi Peneliti
a. Memperluas wawasan kajian pemikiran islam khususnya pemikiran pembebasan kaum minoritas Abdurahman Wahid
3. Bagi Pemimpin dan Masyarakat Muslim
b. Memperluas wawasan kajian pemikiran islam khususnya pemikiran teologi pembebasan kaum minoritas Abdurahman Wahid
a. Memotifasi para pemimpin dan masyarakat dalam mengimplementasikan teologi pembebasan kaum minoritas dalam konteks realitas sosial kekinian.
E. Kajian Teoritik
1. Kajian Terdahulu
Sebagai salah satu tokoh bangsa kehadiran abdurahman wahid sangat penting bagi pembentukan wacana keislamaan dan humanitarisme di Indonesia, maka ada beberapa sarjana atau individu yang telah melakukan kajian dan penelitian terhadap pemikiranya. Sebagaian kajian tersebut dituangkan dalam bentuk buku, Tesis, dan Disertasi.
Beberapa tokoh yang berusaha mengambarkan dan menafsirkan pemikiran Gus Dur, seperti greg Barton, yang mengupas tentang beografi Gus Dur, pembentukan wacana Kritis dan keterlibantannya dalam politik praktis.[4] Syamsul Bakri dan Mudhofir , yang membahasa tentang pembentukan wacana Gus Dur dan Nurcholis Madjid seputar universalisme islam dan humanitarisme,[5] dan Listiyono Santosa, yang mengupas mengenai landasan keagamaan tentang politik Gus Dur baik wacana maupun aksinya dan Wasid, yang mengulas pemikiran Gus Dur sebagai Sang guru Bangsa; Pergolakan islam, Kemanusiaan, dan Kebangsaan,[6]
Di antara tulisan yang mengkaji pemikiran Gus dur secara akademis adalah Khoirul Umami, yang mengupas menegenai hubungan Agama dan Negara,[7] dan Said jamhari, yang membahas Model Kepemimpinan karismatik Gus Dur.[8] Sementara artikel yang pernah terbit yang membincangkan Gus Dur dan pemikiranya adalah tulisan Greg Barton dan Douglas E. Ramage, yang mengulas bahwa pemikiran dan aksi Gus Dur berbasiskan nilai-nilai demokrasi, toleransi beragama, dan pancasila mencerminkan kuatnya politik kebangsaan.
Namun dari sekian banyak kajian-kajian tersebut, peneliti beum menemukan secara utuh dan mendalam mengenai kajian teologi pembebasan terhadap kelompok minoritas.
2. Konsep Pembebasan sebagai Aktualisasi Humanitarisme
Humanitaianisme merupakan sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap kerukunan sosial (sosial harmony).[9] Istilah Humanitarianisme digunakan Abdurrahman Wahid untuk mengungkap suatu sikap dalam melihat segala kebaikan dalam perspektif kemanusiaan yang dipadukan dengan perhatian terhadap kesejahteraan individu.[10] Humanitarianisme Abdurrahman Wahid merupakan pemikiran fundamentalnya dalam memberikan apresiasi luas terhadap segala hal yang baik dalam kehidupan manusia dan dalam memberikan perhatian pada kesejahteraan setiap individu. Sikap humanitarian ini dikemukakan tanpa membedakan latar belakang agama, kultur dan etnis.
Perhatian utama Abdurrahman Wahid terhadap Humanitaianisme begitu menonjol dalam pemikirannya. Persoalan Humanitarianisme ini begitu penting karena menurut Abdurrahman Wahid, manusia memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam tatanan kosmologi sehingga setiap individu harus memperoleh perlakuan dan hak-hak dasar yang sama.[11] Pandangan Humanitarianisme menitikberatkan pada kebebasan individu untuk menyatakan pendapat, keyakinan, keimanan, dan kemerdekaan untuk berserikat. Abdurrahman Wahid mengembangkan persoalan Humanitaianisme ini dalam konteks demokrasi di Indonesia. Demokrasi sebagai manifestasi dari semangat Humanitaianisme yang ditekankan Abdurrahman Wahid dianggap begitu relevan karena perikehidupan dan perikemanusiaan yang utuh didalam Negara yang penduduknya heterogen hanya dapat dipakai dengan demokrasi
Pandangan Humanitaianisme Abdurrahman Wahid berangkat dari ide dasar islam berupa jaminan-jaminan yang diberikan oleh islam kepada umat manusia. Jaminan-jaminan dasar itu adalah jaminan atas keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani diluar koridor hokum, keselamatan keyakinan agama masing-masing tenpa adanya pemaksaan untuk berpindah agama, keselamatan keluarga dan keteurunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar ketentuan hokum, serta jaminan terhadap keselamatan profesi.[12] Abdurrahman Wahid merumuskan jaminan dasar islam itu sebagai dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat. Lebih lanjut Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa jaminan dasar atas unsur-unsur utama kemanusiaan harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. Perwujudan ini harus memerhatikan individu danm masyarakat tanpa harus mempertentangkan satu sama lain.
Pandangan Humanitarianisme Abdurrahman Wahid ini bertolak dari nilai universalisme islam yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Abdurrahman Wahid sengaja menampilkan isu-isu yang diambil dari sepirit agama tanpa harus disertai dengan upaya penampakan simbolisme agama. Hal ini berada dengan kalangan islam lain yang lebih cenderung memunculkan isu-isu agenda islamisasi dengan memakai agam beserta simbol-simbolnya dalam menunjukkan superioritasnya terhadap masyarakat lain.
Dengan pandangan Humanitarianisme yang peduli pada unsur-unsur utama kemanusiaan ini, Abdurrahman Wahid dapat dengan muda menerima dan bekerja sama dengan unsur-unsur ideologi dan pemikiran yang datang dari luar islam dalam upaya membebaskan manusia dari ketidak adilan struktur sosial-ekonomi dan kezaliman rezim-rezim ditaktor. Dengan memperhatikan pentinya semangat Humanitarianisme, Abdurrahman Wahid berharap islam memberikan perangkat yang akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, semangat Humanitarianisme dan perjuangan menegakkan hak asasi manusia harus efektif dan dapat memasuki wilayah masyarakat bahwa sehingga isu Humanitarianisme dan perjuangan menegakkan HAM tidak menjadi komoditi politik yang menguntungkan kalangan tertentu saja. Abdurrahman Wahid secara tegas mengatakan pandangannya sebagi berikut.
Isu humanitarianisme yang dikemukakan Abdurrahman Wahid sebagai bagian dari upaya menciptakan kosmopolitanisme peradaban islam berpijak pada dasar komitmen kemanusiaan islam (ahlu sunnah waal-jama’ah) yang digunakanya sebagai dasar bagi peyelesaian tuntas persoalan utama yang di hadapi umat manusia secara umum.[13] Bagi Abdurrahman Wahid, islam dengan pandangan dunia dan cita-cita utamanya dapat menjadi fondasi untuk sebuah pandangan dunia humunitis yang dalam. “Pandangan humanitarianisme Abdurrahman Wahid ini tampak dimaksudkan untuk lebih menonjolkan fungsi islam sebagai ratmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam) tanpa harus membedakan latar belakang agama, suku, dan ideology. Pandangan dan sikap Abdurrahman Wahid yang humanis yang tidak menjadikan isu “khas islam” sebagai isu sentral telah dapat diterma oleh berbagai kalangan termasuk dari non muslim, Abdurrahman Wahid tidak menampakkan dan mengomunikasikannya dengan model-model yang bernuansa formalisasi islam.
Hanya dengan semangat humanitarianisme inilah akan tercipta solidaritas sosial yang sangat kuat karena unsur-unsur untuk kemanusiaan dan demokrasi akan berada diatas sektarioanisme agama. Semangat Humanitarianisme yang demikian diharapkan mampu menciptakan suasana saling membantu dan saling mendukung antar manusia.[14] Dengan demikan, semangat Humanitarianisme mesti diwujudkan dalam tatanan kehidupan riil sebagai manifestasi dari islam yang menekankan adanya kepedulian yang tinggi terhadap persoalan-persoalan kemanusian.
Perhatian utama atas persoalan Humanitarianisme yang dikemukakan Abdurrahman Wahid ini dapat dimengerti dalam kerangka kontribusi muslim di dalam pembangunan peradaban global yang menempatkan umat islam sebagai bagaian dari umat manusia. Tanpa semangat Humanitarianisme ini akan sulit bagi umat islam untuk bersama-sama umat lain membangun peradaban manusia. Tali pengikat antar kelompok manusia adalah kemanusiaan dan bukan sektarioanisme agama atraupun ideology.
Dari pemikiran tentang Humanitarianisme ini tampak bahwa Abdurrahman Wahid bermaksud menonjolkan watak keagamaan yang meminjam istilah Gutav mensching, disebut agam universal, yaitu prinsip keagamaan yang menekankan nilai pembebasan dan perhatian atas eksistensi kemanusiaan.[15] Pandangan Abdurrahman Wahid ini juga menunjukkan keinginannya untuk membumikan semangat kemanusiaan sejati yang dapat mempersempit jarak perbedaan diantara manusia. Perbedaan agam, suku dan ideology diupayakan dan diolah secara baik sehingga tidak menjadi penghalang bagi terciptanya egalitarianisme kemanusiaan.
Menurut AS Hikam, Humanitarianisme yang ditunjukkan Abdurrahman Wahid ini dimaksudkan untuk mengembangkan asas kesastraan (egalitarianisme).[16] Egalitarianisme kemanusiaan perlu menjadi perhatian seluruh umat tanpa latar belakang agama, suku, jenis kelamin, dan bahasa. Dari semangat Humanitarianisme inilah Abdurrahman Wahid begitu proaktif mengedepankan pluralisme dalam melawan eksklusifisme dan sektarioanisme agama. Keduanya dianggap bertentangan dengan prinsip Humanitarianisme islam.
Dengan gagasan Humanitarianisme yang menjadikan manusia sebagai objek terpenting ini, Abdurrahman Wahid bermaksud mengajak umat islam dan seluruh komponen bangsa untuk memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang baik yang berdasarkan asas-asas kemanusian universal. Upaya pengabdian terhadap sesama umat perlu dilakukan oleh setiap komponen masyarakat tanpa memandang latar belakang cultural, religius, dan soliologis.
F. Metodologi Penelitian
Untuk menelaah permasalahan terkait dengan bentuk-bentuk pembebasan Abdurahman Wahid terhadap kaum minoritas dan latar belakangan dari sikap itu, maka perlu direncanakan metodologi penelitian yang tepat, yaitu sebagai berikut:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian adalah pendekatan diskriptif kualitatif dengan jenis penelitian studi kepustakaan (library research).
2. Sumber data :
a. Data primer berupa buku-buku karya Gus Dur antara lain: Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Prisma Pemikiran Gus Dur, dll.
b. Data sekunder berupa buku-buku karya pemikiran orang lain seperti biografi Gus Dur karya Greg barton, dll.
3. Teknik pengumpulan data adalah dokumentasi dan wawancara.
4. Teknik Analisis Data adalah hermeneutik kritis[17]
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memepermudah peruses pembahasan, maka penulisan tesis ini akan disusun dalam beberapa bab dengan menyebut pula beberapa sub-sub bab yang menyertainya sesuai dengan keperluan kajian yang dimaksudkan. Antara lain:
Bab pertama, mengurai tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian teoritik, metode penelitian dan sisteatika pembahasan.
Bab kedua, mengurai konsep teologi islam, perkembangan teologi islam, watak dan fungsi teologi dalam pembebasan kaum tertindas, berbasis problematika ke-indonesia-an Bahasan ini menjadi penting, sebab berhubungan dengan pergolakan kehidupan Gus Dur hingga kristalisasi pemikiranya terkait dengan pembelaaan terhadap kelompok minoritas tertindas.
Bab ketiga, berfungsi mengambarkan tentang biografi Gus dur dan proses sosialisasi serta dinamika dan karakteristik pemikiranya dalam kehidupan beragama dan bernegara. Dalam bahasan ini juga difokuskan mengenai kontruksi sosial dan budaya yang berkembang hinggga turut mempengarui implementasi pemikiran-pemikiran utamanya pembelaanya terhadap kaum minoritas tertindas.
Bab keempat, merupakan analisis kritis atas pemikiran Gus Dur mengenai bentuk-bentuk pembelaan terhadap kaum minoritas tertindas, dan latar belakang yang melandasi pembelaan Gus Dur terhadap kaum tersebut.
Bab kelima, penutup yang digunakan sebagai wadah memberikan kesimpulan dan saran serta rekomendasi untuk peneliti-peneliti berikutnya tentang Gus dur dalam aspek lainnya.
[1] Lebih lanjut lihat Hasan Hanafi, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, terj. Son Haji Sholih, (Jakarta: P3M, 1991), 54-57.
[2] Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, 74. walaupun teologi Pembebasan berasal dari kalangan khatolik Amerika latin, gagasan-gagasannya telah menjadi aliran pemikiran dan pergerakkan yang menonjol sejak tahun 1970-an. Abdurrahman Wahid kalangan Prisma yang lain memberikan penilaian positif ideology ini. Lihat Karel A. Steenbrink, Perkembangan Teknologi di Dunia Kristen Modern,( Yogyakarta: IAIN SUKA Press, 1997), 190.
[3] Lihat Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan…, 168.
[4]Greg Barton, Biografi Gus Dur (Yogyakarta, Penerbit LKiS, 2004)
[5]Syamsul Bakri dan Mudhafir, Jombang-Kairo, Jombang-Chicago; Sintsesis Pemikiran Gus dur dan Cak Nur (Solo; Penerbit Tiga serangkai, 2004)
[6]Wasid, Gus Dur Sang Guru bangsa; Pergolakan islam, Kemanusiaan, dan Kebangsaan, (Yogyakarta: penerbit Interpena, 2010)
[7]Khoirul Umami, Pemikiran politik abdurahman wahid; studi tentang pola hubungan Agama dan Negara di Indonesia, tesis Pasca sarjana IAIN Sunan ampil, 2002.
[8]Said Jamhari, Kepemimpinan Kharismatik Nahdatul Ulama’: Studi Kasus Kepemimpinan Abdurahman Wahid, Disertasi Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998.
[9] Lihat laode Ida dan Ismail S, Ahmad, ….,78.
[10] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiaran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj.Nanang Tahqiq, Pustaka Antara, Jakarta, 1999, 407.
[11] Ibid, 408.
[12] Abdurrahman Wahid, Universalisme Islam…., 3.
[13] Lihat AS. Hikam, “Gus Dur dsan Pemberdayaan Politik”Umat”Arif Affandi, Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Umat Model Gus Dur dan Amin Rais. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, 94-95.
[14] Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, editor Zaini Shofari Al-raef, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hlm. 96.
[15] Gustav Mensching, Religion, Culture and Society: a Reader in the Sociology of religion, Jhon Welley and Sons Inc, New York, 1962, hlm. 259.
[16] AS Hikam, op, cit, hlm. 95.
[17]Untuk mengetahui secara jelas mengenai teori ini lihat Hans Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2004), 10-48.