Tulisan ini adalah kutipan dari sebagian tulisan saya untuk laporan Kunjungan Kerja Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Provinsi Jawa Timur.
Permasalahan Seputar Realisasi Otonomi Daerah
Written by Basyir Baick January, 2013 Pemerintah Kota Surabaya punya program pembangunan yang telah tersusun secara detail dengan skala yang cukup besar dan berkesinambungan hingga 20 tahun ke depan. Untuk merealisasikan program pembangunan tersebut diperlukan dana yang tidak sedikit, maka untuk itu pemerintah Kota Surabaya melakukan beberapa langkah, yang salah satunya dengan pengalokasian dana APBD se efesien mungkin. Segala kegiatan yang dinilai tidak terlalu penting tidak perlu diadakan, dan kegiatan yang dapat dilaksanakan dengan sederhana tidak perlu diadakan secara mewah, yang perlu biaya besar. Disamping itu pengawasan penggunaan dana juga dilakukan secara ketat, jangan sampai ada penyimpangan.
Untuk menunjang pelaksanaan program pembangunan Kota Surabaya tersebut, juga dinilai perlu adanya perubahan beberapa regulasi, semisal pembagian hasil Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang saat ini 20 persen masuk pemerintah Kabupaten/Kota, sementara 80 persen masuk Provinsi Jawa Timur. Ini dinilai tidak adil, seharusnya perolehan hasil pajak untuk Kabupaten/Kota perlu ditingkatkan, atau bahkan dibalik menjadi Provinsi 20 persen dan Kabupaten/Kota 80 persen. Hal ini karena yang menerima akibat buruk dari adanya kendaraan bermotor, seperti kemacetan, polusi, kerusakan jalan, dan lain-lain adalah pihak Kabupaten/Kota. Disamping itu pihak Kabupaten/Kota itu juga yang harus mencari solusi dari akibat buruk tersebut. Seperti contoh kemacetan yang terjadi di Surabaya ini, masyarakat akan menuntut pada Walikota Surabaya, bukan pada Gubernur untuk menyelesaikan masalah. Disamping dari PKB, Walikota Surabaya juga berharap persentase pembagian hasil Pajak Penghasilan (PPh) untuk Kabupaten/Kota juga ditingkatkan. Saat ini pembagian hasil PPh tersebut 80 persen untuk pemerintah pusat, dan sisanya yang 20 persen dibagi untuk Provinsi 40 persen dan Kabupaten/Kota 60 persen. Diantara permasalahan yang timbul akibat dari pelaksanaan otonomi daerah juga ada di seputar Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) itu sendiri. Dalam hal ini di Jawa Timur terdapat masalah yang susah di berantas, yaitu masalah money politic dalam jumlah yang tentu sangat besar, dibagikan oleh calon Kepala Daerah kepada masyarakat, baik melalui Ormas, maupun secara individu. Ini jelas perlu diberantas karena dengan mengeluarkan dana yang sangat besar untuk dapat menjadi Kepala Daerah berarti nanti pada waktu menjabat Kepala Daerah akan berusaha mendapatkan kembali uang dalam jumlah yang sangat besar pula, yang biasanya diambil dari dana yang seharusnya untuk membangun daerahnya. Dalam menyikapi masalah money politic ini, menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur, kita tidak bisa hanya melarang calon Kepala Daerah mengeluarkan money politic pada masyarakat, karena justru masyarakat itu sendiri yang menghendaki adanya money politic. Dengan demikian, untuk menghapuskan praktik money politic tersebut, disamping dengan melarang calon Kepala Daerah untuk memberikan money politic, juga perlu adanya usaha kita bersama untuk menyadarkan masyarakat, misalkan melalui siaran televisi, pengajian agama, rapat kampung dan lain sebagainya. Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP) memberhentikan 2 Komisioner KPU Lumajang, Hery Sugiharto dan Amien Bawazier sejak tanggal 7 Desember 2012. Sehubungan berhentinya dua anggota KPU tersebut, sambil menunggu petunjuk KPU Pusat, KPU Jatim akan mengambil alih semua kebijakan KPU Lumajang. Adapun 3 komisioner yang tersisa tetap melaksanakan sesuai tugas pokok dan fungsinya. Disamping itu KPU Jatim juga harus melakukan take over terhadap KPU Pamekasan, yang bahkan seluruh komisionernya, yang terdiri dari ketua KPU beserta 4 anggotanya, diberhentikan tetap oleh DKPP. Menurut KPU Jawa Timur, DKPP telah melanggar UU nomor 12 tahun 2011 karena sering melakukan pemberhentian anggota komisioner KPU tanpa terlebih dahulu menganalisa permasalahannya. Ini terbukti dalam melakukan pemberhentian tersebut selalu tanpa proses verifikasi dan peradilan, melainkan hanya berdasarkan pengaduan sepihak apabila terjadi sengketa permasalahan dalam Pemilukada, padahal pengaduan tersebut belum tentu benar. DKPP juga dinilai keterlaluan karena cara pemberhentiannya tanpa melalui proses yang selayaknya, yaitu diawali dengan teguran, peringatan keras, dan baru dilakukan pemberhentian bila anggota yang bersangkutan tetap melanggar. |