PERJALANAN POLITIK PEMERINTAHAN ISLAM M. Basyir Baick |
A. PENDAHULUAN
Islam boleh jadi merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik, terentang mulai masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Di Madinah, tempat hijrah Nabi, Beliau berhasil menyatukan komunitas sosial, yakni kaum pemukim dan kaum pendatang. Lebih dari itu, di Madinah, Nabi juga berhasil mengatur kehidupan kaum Muslim, Nasrani, serta Yahudi dalam komunitas “Negara Madinah” atau “masyarakat Madinah”. Komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah inilah yang belakangan acap dirujuk oleh para pemikir Muslim, baik yang liberal maupun yang fundamentalis, sebagai masyarakat Islam ideal. Pemikir liberal lebih suka menyebut komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah sebagai “masyarakat madani”, sedangkan mereka yang fundamentalis lebih nyaman menyebut “Negara Madinah”. Namun sepeninggal Nabi yang wafat pada tahun 632 M pemikiran politik Islam tidak pernah lepas diwarnai oleh perdebatan tentang sistem pemerintah, khususnya mengenai hubungan khalifah dan negara.
Setelah lebih dari 10 abad lamanya Islam berkuasa, pada akhirnya Dinasti Utsmani, yang berpusat di Turki setelah sempat menjadi dinasti paling terkemuka, namun kemudian mengalami kemunduran dan dibubarkan pada 1924. Maka dinasti ini merupakan pemerintaahan Islam yang terakhir. Kemunduran ini menandai mulai berpengaruhnya pemikiran politik Barat. Para pemikir yang diidentifikasi sebagai pemikir liberal bermunculan. Mereka antara lain Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Berpijak pada kemajuan Barat, para pemikir Muslim ini menawarkan pemikiran modernism. Tapi kemajuan Barat dewasa ini memunculkan reaksi di kalangan pemikir Islam fundamentalis. Mereka menginginkan kembali kehidupan masyarakat Muslim dewasa ini mencontoh kehidupan di masa Nabi atau setidaknya masa kejayaan dinasti-dinasti di masa awal Islam. Itu berarti mereka menginginkan tidak adanya pemisahan agama dan politik.
Adapun pembahasan lebih lengkapnya tentang politik pemerintahan Islam ini akan diuraikan lebih jauh dalam makalah ini.
B. SEJARAH POLITIK ISLAM
Dengan dirumuskannya Piagam Madinah oleh Nabi Muhammad SAW setelah beliau hijrah ke Madinah, sebenarnya ini merupakan tonggak utama lahirnya pemerintahan Islam. Menurut Harun Nasution, Piagam Madinah tersebut mengandung aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah, agar terbentuk kesatuan hidup diantara seluruh penghuninya. Kesatuan hidup ini dipimpin oleh Muhammad SAW sendiri. Kesepakatan contract social inilah yang menjadi dokumen konstitusi bagi lahirnya negara yang berdaulat. Dengan demikian, di Madinah nabi Muhammad bukan hanya mengemban tugas-tugas keagamaan sebagai Rasulullah, melainkan juga sebagai kepala Negara.[1]
Piagam Madinah ini merupakan embrio akan terlahirnya praktek politik dikemudian hari yang dialami oleh para khalifah (pemimpin negara) berikutnya sepeniggalnya Nabi Muhammad SAW. Ketika Nabi Muhammad Saw wafat pada tahun 632 M. Pada waktu itu, dengan segala situasinya, beliau tidak meninggalkan wasiat maupun arahan tentang figur atau siapa pengganti beliau. Umat Islam secara politis tidak siap ditinggalkan oleh Nabi. Maka masyarakat di Madinah pun sibuk memikirkan siapa pengganti Nabi sebagai kepala negara sepeninggal beliau. Maka sejak saat itulah mulai muncul benih-benih politik yang tidak bisa dielakkan oleh pemimpin-pemimpin pemerintahan berikutnya, yang dijalankan oleh para sahabat yang empat, yang dikenal dengan sebutan Khulafah al-Rasyidin. Kenyataan praktek perpolitikan semasa pemerintahan dipegang para sahabat ini pada masa-masa awal belum seberapa muncul, namun kenyataan ini semakin tampil nyata pada masa-masa akhir Khulafah al-Rasyidin, sehingga timbul beberapa mazhab politik.
1. Politik Masa Khulafa al-Rasyidin dan Madzhab Politik
Istilah kekhalifahan dalam bentuk pemerintahan berawal dari Khalifah al-Rasyidin. Khalifah al-Rasyidin sendiri berjalan dalam rentang waktu 29 tahun. Khalifah yang menjalankan roda pemerintahan, dari Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib. Kekhalifahan al-Rasyidin memegang dan menjalankan pemerintahan tetap di Madinah. Periode kekhalifahan pada rentang waktu ini mendapat sorotan dan pujian yang sangat mendalam dalam sejarah, sehingga kekhalifahan ini mendapat gelar Ar-Rasyidin (yang lurus).[2]
Namun demikian, pada masa Khulafah al-Rasyidin ini tidak terlepas dari krisis. Krisis yang terjadi bukan merupakan krisis kepribadian diantara keempat Khulafah al-Rasyidin, melainkan krisis otoritas yang sah. Masalah yang diperdebatkan bukanlah siapa, melainkan bagaimana memilih seorang pengganti nabi dan menetapkan cakupan dan kewenangannya.[3] Jadi, pada masa awal sejarah Islam terjadi krisis politik bukan krisis keagamaan, seperti kemelut institusional yang dialami kaum Muslim pada periode awal politik Islam.
Semenjak Abu Bakar naik sebagai khalifah pertama Islam, diskursus politik sangat marak. Baik dalam perbincangan aktor, apakah Abu Bakar sebagai seorang kepala pemerintahan saja atau sebagai sekaligus pemimpin agama. Di mana ditandai dengan perseteruan yang keras antara kalangan Muhajirin yang beretnis Quraisy yang merasa sebagai pembela Islam pertama dengan kalangan Anshor, yang merasa memiliki tanah air Islam pertama. Bahkan perbincangan dengan keputusan Abu Bakar untuk memerangi orang yang tidak membayar pajak, juga telah menimbulkan sejarah baru tentang perkembangan pemikiran politik. Sebab selama Rasul hidup, beliau tidak pernah menjatuhkan hukum perang kepada orang yang tidak mau membayar zakat.
Pergulatan pemikiran politik Islam juga cukup menonjol dalam mensikapi pemerintahan Umar bin Khattab yang sangat tegas tetapi demokratis. Banyak kebijakan-kebijakan politik Umar bin Khattab yang berbeda dengan kebijakan Nabi, semisal dalam persoalan pembagian harta rampasan perang. Apakah ini ijtihadi politik Umar sendiri, atau bukan? Umar bin Khattab juga seorang pemimpin yang ingin meletakkan politik dalam panggung keadilan, hal ini tercemin dalam sikap Umar ketika dilantik menjadi Khalifah. Ia mengangkat pedang tinggi, untuk membela Islam, jika ia tidak selaras dengan Islam, maka ia menyuruh masyarakat mengingatkannya dengan pedang pula.
Demikian juga dalam masa pemerintahan Khalifah Utsman, pemikiran politik tentang koalisi, aliansi tampaknya sangat menonjol. Posisi usia Utsman yang sudah cukup tua, yang kemudian dimanfaatkan oleh kerabat dekat Utsman untuk mempengaruhi roda pemerintahan. Di mana kemudian ditandai dengan kondisi nepotisme dalam pemerintahan Utsman.
Kondisi yang paling menegangkan, sehingga menimbulkan banyak pola pemikiran politik adalah ketika Ali bin Abu Thalib diangkat menjadi Khalifah. Konflik politik berkepanjangan berkaitan dengan pembunuhan Utsman, menjadikan sebab timbulnya perang saudara di sesama Muslim. Bahkan istri Rasulullah sendiri, Aisyah, ikut mempimpin perang melawan Ali dalam perang Jamal (Onta). Yang mana dikemudian hari menjadi diskursus panjang tentang boleh tidak wanita menjadi pemimpin suatu kaum. Dalam masa inilah kemudian, perbedaan kepentingan aqidah dipolitisir lebih jauh menjadi sebuah kepentingan politik. Dinamika politik inilah yang kemudian melahirkan mazhab politik Islam klasik yang terbagi dalam beberapa mazhab besar; yakni Sunni, Syi'ah, Khawarij, dan Mu’tazilah. Dari mazhab-mazhab politik yang masing-masing punya pandangan sendiri ini, di kemudian hari melahirkan derivasi pemikiran yang sangat kompleks dan berkelanjutan.
a. Pemikiran Politik Sunni
Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada pemerintah yang berkuasa. Pemikiran-pemikiran dari ahli-ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan. Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintahkan.[4]
Ibnu Taimiyah sebagaimana dijelaskan Iqbal, telas merumuskan bahwa enam puluh tahun berada di bawah rezim penguasa zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa pemimpin. Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara mengemukakan pendapat Ghazali, Ibnu Abi Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah menyatakan dengan tegas bahwasannya kekuasaan kepala negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya, dan disebutkan pula bahwa ketiga pemikir itu berpendirian bahwa khalifah itu adalah muqaddas atau suci, tidak dapat diganggu gugat.[5] Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi keistimewaan hak-hak khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu:
uqèdur “Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚö‘F{$# yìsùu‘ur öNä3ŸÒ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_u‘yŠ öNä.uqè=ö7uŠÏj9 ’Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7/u‘ ßìƒÎŽ| É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Ö‘qàÿtós9 7LìÏm§‘ [6]
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? [7]
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua ayat diatas merupakan penegasan Allah bahwa Ia telah memberi keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan dan memperkokoh kedudukan mereka di bumi-Nya. Disamping itu Allah SWT mewajibkan kepada para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah mereka.Pandangan hampir serupa dikemukakan oleh al-Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i, menurutnya, mustahil ajaran-ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang pendukungnya adalah negara.[8]
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum – hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah.[9]
Mawardi berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial. Dari pendapat Mawardi ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak yakni rakyat dan penguasa. Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari al-Mawardi yakni menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih. Kepatuhan ini tidak hanya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada pemimpin yang jahat.
Ciri lain didalam pemikiran politik golongan Sunni ini adalah penekanan mereka terhadap suku Quraisy sebagai kepala negara walaupun Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggungnya secara tegas, dan Muhammad Iqbal memasukkan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha yang hidup dimasa modern yang masih menekankan suku Quraisy di dalam pemikiran politiknya.
Namun sebagai mana disinggung Iqbal pula yang memasukkan pola pemikiran Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa syarat Quraisy bukanlah sebuah harga mati.
b. Pemikiran Politik Syi’ah
Sebelum merambah lebih jauh lebih jauh mengenai pemikiran politik Syi’ah terasa tidak sah dan nyaman bila tidak mengetahui sejarah lahirnya kelompok ini. Mengenai kelahiran kelompok ini banyak sekali aneka ragamnya, sebagaimana dijelaskan oleh Iqbal yang mengatakan bahwasannya Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam percaturan politik Islam,[10] selanjutnya Munawir Sjadzali mengatakan titik awal dari lahirnya Syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali,[11] para ahli penulis sejarah sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam sebagian menganggap Syi’ah lahir setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshor di Balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah,[12] yang diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan Dar al-Nadwa di Madinah,[13] dan lebih jauh dijelaskan sebagian ahli sejarah menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan dijelaskan dalam Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan bahwasannya pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa al-Tahkim atau arbitasi. Dan Abu Zahroh memperkuat atas pendapat ini dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik pertama lahir dalam Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Atsman, kemudian tampil pada akhir masa Ali.[14]
Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam.
Didalam menetapkanb apakah seseorang bisa diangkat menjadi imam atau tidak, Kaum Syi’ah mempunyai persyaratan sebagai berikut:[15]
1) Harus ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
2) Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
3) Seorang iam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubugan dengan syari’at.
4) Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.
Ada satu aliran cabang dalam golongan Syi’ah yang berbeda dari kelompok syi’ah lainnya, yaitu Syi’ah Zaidiyah. Golongan ini tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi. Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam. Nabi hanya menetapkan sifat-sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau. Terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimana dijelaskan oleh suyuti tidak bisa terlepas dari hubungannya dengan adanya pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase). Tentunya untuk mengimbangi pernyatan dari kaum yang mereka anggap berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah membuat doktrin untuk menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk pengganti Nabi.[16]
Iqbal menulis, secara sosio politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, imam-imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan politik. Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi. Mereka tidak memiliki pengalaman praktis dalam memerintah dan menangani permaslahan politik riil. Ketika mereka melihat realitas politik tidak sesuai dengan nilai-nilai keIslaman sebagaiman mereka inginkan, maka mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam. Sebagian pemimpin yang ide. Kedua, sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri. Ketiga, pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al-Mahdi al-Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari penderitaan.
Dari sekian banyak kelompok ditubuh syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini menjadi tiga aliran:pertama: Moderat, umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.Kedua:Ekstrem, menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.Ketiga: diantara kedua kelompok diatas, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak seperti nabi yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.
Diantara sekian banyak sekte, terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalammazhab Syi’ah hingga sekarang yaitu: Zaidiyyah, Ismailiyyah (Sab’iyyah), dan Imamiyah (Isna’ Asy’ariyah).[17] Adapun nama-nama masing-masing imam dalam tubuh Syi’ah adalah sebagai berikut:
1) Syi’ah Zaidiyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein Ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Zaid ibn Ali.
2) Syi’ah Isma’iliyah atau Sab’iyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far
al-Shadiq, Isma’il ibn Ali.
3) Syi’ah Imamiyyah atau Isna ‘Asyariyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al-Baqir,
Ja’far al-Shadiq, Musa al-Kadzim, Ali al-Ridho, Muhammad al-Taqi’, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari, Muhammad al-Mahdi.
c. Pemikiran Politik Khawarij
Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah. Masing-masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib. Pada awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah.[18]
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin.[19] Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat Abu Musa al-Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok.[20]
Menurut mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia.[21] Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari pada Sunni maupun Syi’ah. Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.
Suatu hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak-hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah. Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana pandangan Sunni misalkan saja pandangan al-Ghazali, al-Juwaini, al-Asqolani, al-Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern,[22] juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum Syi’ah. Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang disepakati oleh aliran-aliran Khawarij.[23]
Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar-benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi. Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at, serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan. Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya, apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka. Jadi pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersift kebolehan. Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al-Zubair, dan para tokoh sahabat lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan mereka mengutamakan orang selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawrij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi seorang yang sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, hal ini menujukkan kedemokrasian kelompok ini.[24]
d. Pemikiran Politik Mu’tazilah
Kelompok Mu’tazilah ini pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali.[25] Mereka, khususnya berusaha mengambil sikap yang lebih rasional dalam menanggapi terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat.
Penamaan kelompok ini dengan sebutan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan-perbedaan antara Washil Ibn Atha degan gurunya, Hasan al-Bashri, pada abad ke II H tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa.[26] Dalam hal ini Harun Nasution[27] menjelaskan bahwa banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah. Para ahli sebenarnya telah mengajukan beberapa pendapat mereka, namun demikian belum ada kata sepakat diantara mereka.
Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran-pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al-Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia.[28]
Abd al-Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.
C. POLITIK PEMERINTAH ISLAM PASCA KHULAFAH AL-RASYIDIN
Kekhalifahan pasca Khulafa al-Rasyidin diawali sejak terjadinya kekacauan politik antara Ali bin Abi Thalib yang memegang pemarintahan sah pada waktu itu, dengan Muawiyah bin Abi Sofyan, yang pada akhirnya berhasil menggusur pemerintahan Ali. Dalam situasi perpolitikan yang kacau balau, hingga mendorong lahirnya beberapa Madzhab politik tersebut, bahkan sampai mengakibatkan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Mu'awiyyah bin Abi Sofyan, yang menggusur pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tersebut adalah kemenakan dari Utsman bin Affan, pemegang pemerintahan sebelum Ali bin Abi Thalib. Mu'awiyyah sendiri selama kepemimpinan pemerintahan Utsman bin Affan, menjabat Gubernur di Damaskus, sehingga ketika Utsman wafat maka posisi Mu'awiyyah sebagai gubernur terancam, maka terjadilah manuver untuk menggoyang kepemimpinan Khalifah Ali bin Abu Thalib.
Kematian Ali bin Abi Thalib memungkinkan Mu'wiyyah untuk menampilkan diri, apalagi dengan terbunuhnya anak Ali, Husein bin Ali, dalam perang di padang Karbala, menjadikan posisi Mu'awiyyah semakin kuat. Hal pertama yang dilakukan oleh khalifah Mu'awiyyah adalah melakukan perpindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Hal yang juga tak kalah pentingnya, Mu'awiyyah melakukan adopsi sistem pemerintahan dari Romawi maupun Persia untuk mendukung pemerintahannya. Jika dalam masalah pengangkatan pemimpin, dilakukan oleh Majlis Syuro yang akan memilih dari beberapa orang yang telah ditunjuk oleh khalifah sebelumnya, Muawiyyah memperkenalkan pemaknaan baru. Pemaknaan penunjukkan ini dilakukan langsung oleh Mu'awiyyah kepada putranya, dan Majlis Syuro dibuat untuk melegalisasikan. Sehingga pada masa pemerintahan Mu'awiyyah lebih menampilkan pemerintahan dinasti dibandingkan dengan khalifah. Bai'ah sebagai sarana penerimaan kepada Khalifah juga dilakukan revisi, di mana bai'ah dilakukan oleh Ahlu al-hal wa al-aqdi yang ditunjuk oleh Mu'awiyyah sendiri untuk membai'ah putranya, tidak harus secara langsung rakyat membai'ah. Dalam batasan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, masa kekhalifahan Ummayah dikenal dengan periode kekhalifahan yang sombong.
Sehingga dalam masa pemerintahan kekhalifahan kedua ini, sejarah menyebutnya dengan Kekhalifahan Ummayah (Keluarga Ummayah). Masa kekhalifahan Ummayah berjalan cukup lama, sekitar 90 tahun. Hal yang cukup monumental selama khilafah Ummayah adalah dalam hal perluasan wilayah dari Asia Selatan sampai Spanyol, mulai diperkenalkannya sistem mata uang, penggajian pegawai, diperkenalkannya Qadhi (hakim khusus) sebagai bidang yang tersendiri yang tidak di bawah kendali langsung khalifah.
Meskipun demikian kekhalifahan Ummayah akhirnya runtuh digantikan oleh kekhalifahan Abbassiyah. Adapun beberapa hal yang menyebabkan kemerosotan kekhalifahan Ummayah adalah sebagai berikut:
a. Pola suksesi yang bersifat senioritas, dan tidak jelas, sehingga pada akhirnya menyebabkan persaingan di antara keluarga
istana.
b. Latar belakang berdirinya Ummayah adalah latar belakang konflik.
c. Luas wilayah Ummayah yang menyebabkan persaingan antar wilayah.
d. Lemahnya pemerintahan Ummayah karena moral khalifah yang suka bermewah-mewah, dan tidak mendapat dukungan
ulama.
e. Munculnya kekuatan baru dari keturunan Abbas bin Munthalib, yang mendapat dukungan dari golongan Syi'ah dan Mawali yang
dikecewakan oleh Ummayah.[29]
Setelah runtuhnya kekhalifahan Ummayah diganti dengan kekhalifahan Abbasiyyah. Kekhalifahan Abbas-siyyah didirikan oleh Abdullah bin Saffah ibnu Muhammad ibnu Ali ibnu Abdullah bin Abbas. Pemerintahan khilafah Abbasiyah merupakan kekhalifahan yang paling lama mencapai 588 tahun.
Abdullah bin Saffah dalam membangun memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Khalifah Abasiyyah juga melestarikan pola pemerintahan dan suksesi pemerintahan seperti kekhalifahan Ummayah, demikian pula dengan melakukan perlebaran kekuasaan. Khilafah Abbasiyyah juga memperkenalkan depatermen baru yang dikenal dengan Wazir. Wazir berfungsi sebagai koordinator kelembagaan antar departemen, dan wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak (orang Persia).
Hal yang menarik dalam kekhalifahan Abbasiyah adalah interprestasi tentang khalifah sebagai: Innama anaa sulthaan Allah fi ardhlihi (Sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya). Di mana membuka terminologi baru, bahwa kekhalifahan bukanlah sebagai pengganti nabi, bukan mandat dari manusia tetapi merupakan mandat dari Alloh. Penafsiran baru ini dilakukan semasa khalifah al-Makmun.[30]
Ternyata Abbasiyyah yang sangat luas tersebut mengalami proses sejarah berikutnya, yakni dengan kemunduran-kemundurannya bahkan sampai jatuhnya kekhalifahan Abbasiyyah. Hal-hal yang menyebabkan keruntuhan itu sendiri antara lain:
a. Luasnya kekuasaan Abbasiyyah, sementara tidak terjadinya control dan komunikasi yang memadai.
b. Profesionalisme militer, yang menyebabkan ketergantungan khalifah pada militer yang sangat tinggi.
c. Tentara bayaran, sebagai tentara profesional menghabiskan pembiayaan negara.
Sedangkan menurut Abu Hasan An-Nadwy secara spesifik menguraikan keruntuhan kekhalifahan Islam karena beberapa hal: [31]
a. Penyerahkan kepemimpinan secara acak, yang menyebabkan persoalan kepemimpinan tidak diserahkan kepada ahlinya.
b. Jauhnya semangat agama dalam gelanggang politik.
c. Sifat jahilnya para penguasa, dengan suka bermewah-mewah dan berfoya-foya. Masalah ini terekam dalam tulisan
Al-Ashfahani dalam Al-Aghani dan Al-jahidh dalam Khayawan.
d. Para Penguasa tidak memberikan contoh yang baik tentang Islam.
e. Kurangnya perhatian pada ilmu praktek yang ber-manfaat, di mana lebih menfokuskan pada kajian-kajian metafisika.
f. Timbulnya bid'ah dan kesesatan
D. PEMIKIRAN ISLAM KLASIK DAN MODERN
Sejalan dengan perjalanannya, secara garis besar pembahasan pemikiran politik Islam bisa digolongkan kedalam dua kategori besar, yaitu pemikiran politik Islam klasik dan pemikiran Islam modern, dimana dua kategori tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda.
1. Pemikiran Politik Islam Klasik
Dalam sejarah pertumbuhan peranan negara dalam pemikiran politik Islam klasik menduduki posisi sentral atas keberlangsungan Islam sebagai ajaran yang total dan fundamental. Keberadaan negara dalam batas tertentu adalah sebagai penjamin terlaksana atau tidaknya syari'ah Islam. Pemikiran Islam klasik dalam kaitannya dengan managemen kenegaraan terdapat variasi pendekatan: Sentralisme Khalifah , Institusionalisme, dan Organisme.
Managemen kenagaraan dengan pendekatan sentralisme banyak dikemukakan oleh para filsof baik dari Al-Farabi, Ibnu Sina maupun Al-Ghazali. Pandangan Farabi dan Ibnu Sina dalam batas tertentu terasa sangat idealis dimana khalifah harus dipegang oleh seorang filsuf sebagai bentuk pengaruh pemikiran Yunani.[32]
Pandangan Al-Ghazali menjadi lebih realistis dibandingkan dengan mereka karena Ghazali pernah terlibat dalam pemerintahan dinasti Abbasiyah, sekaligus teman karib dari Perdana Menteri Nizhamul Mulk. Pandangan kaum filsof menempatkan bahwa negara akan baik dan tidak sangat tergantung kepada sang Khalifah, jika khalifah baik maka negara akan baik. Khalifah merupakan implementasi bayangan Tuhan di bumi.
Sentralnya peran Khalifah tercermin dalam pernyataan Ghazali dalam Mukadimmah buku "Al-Muhtazhir": Pertama, sesungguhnya keberesan agama tidaklah tercapai kalau dunianya tidak beres, sedangkan keberesan dunia tergantung kepada khalifah yang ditaati. Kedua, ketentraman dunia dan keselamatan jiwa dan harta hanyalah dapat diatur dengan adanya khalifah yang ditaati. Dengan alasan ini, Ghazali secara tegas menyatakan syarat menjadi seorang khalifah adalah mewakili pribadi para shahabat utama, dimana memenuhi syarat ilmiyah dan amaliyah. Syarat ilmiyah yang berkaitan dengan kepribadian yang baik, sedang amaliyah yang berkaitan dengan perasaan emphati kepada lingkungan dengan baik. Dimana kemudian terangkum kedalam persyaratan yang empat, yang antara lain yaitu: najah (kemampuan bertindak), kewibawaan, wara' (jujur), dan ilman (cerdas). Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka ia akan ditempatkan ke dalam level yang lebih rendah wewenangnya dalam kepemimpinan sesuai dengan gelarnya. Khalifah bagi yang memenuhi syarat kesemuanya, Imam Dharury, khalifah yang diangkat karena dharurat saja, Wali bisy-syaukah, kepala negara yang merampas kekuasaan, dan zus syaukah[33], Sehingga baik buruknya akhlaq seorang kepala negara menjadi prasyarat utama dari khalifah.
Sedangkan pendekatan institusional banyak dipelopori oleh Imam Mawardi, karya terbesarnya dalam politik terangkum dalam "Al-Ahkam As-Sulthaniyyah". Bagi Mawardi yang paling penting dalam pengelolaan negara adalah pemantapan struktur dan fungsi kelembagaan, terutama sekali kelembagaan kepala negara (khalifah) dan yang memilih kepala negara (ahl-ikhtiar). Orang-orang yang tergabung dalam kelembagaan ini adalah orang-orang yang terpercaya, ahlul hal wal aqdi (orang yang faham akan satu hal (profesional) sekaligus orang yang adil). Pandangan Mawardi tidak banyak berbeda dalam memandang peran kepala negara (khalifah) sebagai bagian yang sentral.
Pandangan seperti ini memancing kritik bahwa Mawardi dalam merumuskan tulisannya atas dasar apalogi dan legitimasi kekuasaan kekhalifahan, terutama dalam hal pembenaran pergantian khalifah secara turun-temurun jika keadaan terpaksa.[34]
Pandangan Mawardi tidak bisa dilepaskan dari kedudukan Mawardi sebagai sebagai seorang Wazir (Penasehat) dalam masa khalifah al-Qadir dan al-Qasim pada pemerintahan Abbasiyah. Mawardi mendapatkan perintah dari khalifah bagaimana secara teoritis bisa mempertahankan kelangsungan kekhalifahan Sunni yang sedang dalam kemunduran. Nasehat-nasehat Mawardi ini di kemudian hari disadur oleh Machiavelli dalam "Sang Pangeran" sebagai nasehat kepada raja bagaimana menjalankan pemerintahan yang diambang kemunduran.
Pandangan yang ketiga dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah di mana melandaskan pemikirannya bahwa baik-buruknya suatu pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh kualitas yang baik dari kepala negara akan tetapi oleh organ kenegaraan secara luas. Pandangan Ibnu Taimiyyah banyak dirujuk dari bukunya Minhajul Sunnah dan Siyasah Asy-Syar'iyyah. Fungsi organisme yang ditamsilkan oleh hadis tentang hubungan antar mukmin sebagai saudara dan bangunan yang saling melengkapi disadurnya dalam bentuk pemerintahan.
Dengan pandangan ini Taimiyyah melakukan reformasi sekaligus melakukan kritik sosial terhadap sistem kekhalifahan. Runtuh dan hancurnya sistem kekhalifahan pada satu sisi disebabkan karena masalah akhlaq pemimpin yang merosot.[35]
Akan tetapi tidak berfungsinya lembaga-lembaga pendukung kekhalifahan yang selamanya ini tampak hanya sebagai pelengkap saja. Ketergantungan yang besar kepada sang Khalifah dalam batas tertentu menghasilkan kinerja kekhalifahan yang sesukanya yang kemudian mengarah kepada dekadensi moral. Runtuhnya kekhalifahan Abbasiyyah sebagai akibat serangan tentara Monghol secara mendadak karena terjadinya pengkhianatan Wazir terhadap kekhalifahan, di mana Khalifah sendiri tidak menyadarinya. [36]
Dari pijakan ini Taimiyyah melakukan reformasi terhadap gejala pengagungan Khalifah pada mazhab Sunni maupun Imam Ma'shum pada mazhab Syi'ah sekaligus melakukan kriitikan kepada mazhab Khawarij. Pandangan ini sebagai upaya untuk mengkatrol peran ummah sebagai bagian yang spesfik dari negara untuk turut menentukan kehidupan bernegara.
Dalam batasan tertentu posisi kepala negara akan banyak ditentukan oleh Ummah yang terwakili dalam lembaga legistatif. Posisi Ummah ini sebagai sarana transformasi yang memiliki kedudukan suci sebagaimana kedudukan Nabi.[37] Pemimpin yang sudah terpilih oleh lembaga tersebut harus dibai'ah (disumpah dan dipersaksikan). Dalam proses bai'ah ini, rakyat atau anggota masyarakat diperkenankan tidak membai'ah dan tidak akan dikenakan penjara dan ancaman subversif.
Pandangan Ibnu Taimiyah ini sebagai reaksi dari masa dis-integrasi kekhalifahan Abbasiyah dan keimamahan Syiah. Ibnu Taimiyah yang besar dengan mazhab Hambali yang kritis terhadap pemerintahan tidak banyak melakukan pembelaan akan pemerintahaan yang ada akan tetapi melakukan pembenahan-pembenahan kenegaraan menurut pedoman Qur'an dan Sunnah sekaligus dengan menggunakan kekuatan akal.
Dasar-dasar peletakan pemikiran Ibnu Taimiyyah mengilhami penggalian-penggalian asas politik Islam secara lebih cermat. Seperti masalah keadilan, Ibnu Taimiyyah memberikan peryataan yang cukup kontroversi dengan ungkapan "Lebih baik dipimpin oleh orang kafir yang adil daripada dipimpin orang Islam yang zhalim". Pernyataan seperti ini jelas tidak bisa diterima bagi kalangan sentralisme khalifah dan institusionalis yang mengedepan-kan syarat keIslaman daripada keadilan. Pandangan kontroversi ini setidaknya sebagai akumulasi masalah Taimiyyah yang menghadapi penguasa Islam yang zalim. Ibnu Taimiyyah yang bermazhab Hambali sangat sering bersitegang dengan penguasa yang kemudian menghantarkannnya ke penjara. Bahkan Taimiiyah maupun Imam Hambali meninggal di penjara.[38]
Konsep syura pada akhirnya menjadi embrio yang dikupas oleh Taimiyyah. Dengan konsep Syura, maka ummat akan ditempatkan sebagai peran yang sentral dalam kedudukan pemerintahan dan negara. Syura diambil dari kata al-istikharaaj yang maksudnya mengambil madu sedikit demi sedikit, jika hendak mengeluarkannya dari sarangnya dan memeriknya, memilih sesuatu untuk diketahui keadaannya. Atau Imam al-Qurtubi berkata bahwa kata istisyarah diambil dari perkataan Arab: Syarratid Dabbatu Wasyaurabika idza'alimat khabaraha bijarinau ghairahu (menguji hewan untuk mengetahui sejauh mana larinya atau lainnya).[39]
Syura kemudian mendapat peran yang legal untuk melakukan prinsip politik Islam berupa bai'ah. Bai'ah adalah berasal dari kata bay'a yang artinya menjual. Dalam praktek historis, bay'ah sudah dilaksanakan oleh Nabi selama 2 kali Bay'ah Aqobah I dan II) ketika di Makkah dan kemudian dikembangkan dalam parktek berikutnya.[40]
Dari ketiga perspektif pemikiran tersebut tampaknya mempunyai elan vital di jamannya. Pemikiran sentralisme khalifah dan institusionalisme melihat bahwa hanya elemen pemimpin negaralah yang mampu mempertahankan negara ancaman kehancuran dari luar. Artinya pemikiran ini sebenarnya tidak menafikan akan arti kelembagaan yang lain. Sedangkan pemikiran organis muncul sebagai bentuk terapi untuk membangun kembali sistem kenegaraan Islam yang sudah tercabik-cabik, dengan menempatkan kekuatan organis sebagai penyangganya.
2. Pemikiran Politik Islam Modern
Pemikiran Politik Islam modern mulai tampak arusnya ketika dunia Islam dalam kondisi terjajah oleh kekuatan barat. Selama ini pemikiran politik Islam, merespon persoalan internal bergeser kepada persoalan eksternal. Kondisi keterpurukan dunia Islam menjadikan pengaruh ajaran Islam dalam keseharian menjadi pudar bahkan terancam punah (perish). Hal ini yang mengilhami para tokoh pembaharu Islam seperti Jamaludin al-Afghani untuk mengumandangkan produksi pemikiran dalam mensikapi dan menggalang umat Islam dalam menghadapi.[41] Adapun corak yang mendasar dari pemikiran politik Islam modern adalah sebagai berikut: [42]
a. Formulasi pemikiran sedikit banyak sebagai respon kekalahan dunia Islam atas Barat dari pada sistem internal masyarakat Islam sendiri
b. Formulasi pemikiran sedikit banyak ingin mengembalikan pelaksanaan ajaran Islam secara murni (salafi)
c. Dalam sifat kenegaraan, terpusatkan pada usaha pembebasan negara.
Dalam perkembangan lanjut terjadi dinamika yang cukup beragam dalam meletakkan landasan dasar formulasi pemikiran. Setidaknya formulasi pemikiran terpilah dalam dua kelompok besar; pertama, Kalangan-kalangan yang ingin meletakkan usaha permurnian ajaran Islam (Purifikasi) sebagai jalan satu-satunya usaha menghadapi Barat. Ada kecenderungan kalangan ini bersikap selektif bahkan sampai menolak pemikiran Barat, dalam kerangka pembangunan masyarakat. Pemikiran ini sedikit banyak mendapatkan pengaruh dari pemikiran Imam Hambali, Ibnu Taimiyyah, di masa klasik. Gerakan purifikasi tampak difahami sebagai sarana mengembalikan kejayaan Islam di masa sebelumnya.
Sedangkan kalangan yang kedua, yakni kalangan yang sebelumnya melakukan kritik terhadap pemahaman Islam yang cenderung konservatif. Kalangan ini menjadi tercerahkan atau dalam penilaian kelompok purifikasi telah terbaratkan. Setidaknya pandangan ini berawal dari sikap akomodatif kepada Barat, di mana tercermin dengan sikap untuk membangkitkan Islam setidaknya meniru model Barat dan membangun peradaban Renaisance. Hal inilah yang kemudian mengilhami konsep sekulerisasi pemikiran politik Islam yang selama ini difahami digunakan secara sepihak oleh penguasa demi kelangsungan status quo. Pandangan ini menemukan titik sentralnya dalam tulisan politik Islam sekuler pertama yang dilakukan oleh Ali Abdul Raziq, seorang hakim syari'ah dan dosen di Al-Azhar dalam Kitabnya Al-Islam Al-Ushul Wa Al-Hukmi. Dengan gerakan ini maka pengadopsian pemikiran Barat menjadi salah satu kebutuhan yang mendasar untuk membangun masyarakat Islam.
Dalam dinamika berikutnya, pemikiran politik Islam tidak hanya merespon intervensi eksternal, yang selama ini dituduh sebagai sumber malapetaka di dunia Islam. Kekuatan eksternal juga telah memapankan eksistensinya di dunia Islam dengan membentuk seperangkat sistem kemasyarakatan yang cukup kokoh dalam menyebarkan pengaruhnya. Dari persoalan inilah muncul pemikiran Islam, yang lebih spesifik yang lahir dari gerakan-gerakan sosial (harakah Islamiyyah), yang berusaha melakukan kritisi terhdap regim pro Barat.
Format yang digunakan oleh organisasi sosial ini setidaknya terpilahkan dalam 2 pola besar, yakni: pertama, pola Ishlah (pembaharuan, memperbaiki sistem (evolusi)). Kedua, pola inqilabiah (perombakan total, revolusi). Dari dua pola besar tersebut akhirnya terpola dalam 4 pola besar:
a. Gradualis-Adaptis, di mana organisasi yang termasuk di dalamnya adalah Ikhwanul Muslimin di Maghribi dan Jama'at Islami
di Pakistan.
b. Revolusioner Syi'ah, di mana organisasi yang termasuk di dalamnya adalah Partai Republik Islam Iran, Hizbi Ad-Da'wa di
Iraq, Hizbullah Libanon, Jihad Islam Libanon.
c. Revolusioner Sunni, di mana organisasi yang termasuk di dalamnya adalah AL-Jihad Mesir, Organisasi Pembebasan Islam
Mesir, Ikhwanul Muslimin Siria, Jama'a Abu Dzar Siria, Hizb Tharir Jordania dan Siria.
d. Messianis-Primitif, di mana organisasi yang termasuk di dalamnya adalah Al-Ikhwan Saudi Arabia, Tafkir Wal Hijra Mesir,
Mahdiyya Sudan, Al-Arqam.[43]
Sedangkan diskursus tentang besar pemikiran Islam tentang managemen kenegaraan dalam masa modern ditunjukkan oleh peristiwa keruntuhan khilafah Turki Utsmani di 1924. Hancurnya model kekhalifahan klasik ini memungkinkan munculnya pemikiran-pemikiran baru. Respon terhadap fenomena ini muncul beberapa model pengelolaan negara: Subtansialisme dan formalisme.
Aliran subtansialisme berkecenderungan melihat negara sebagai sesuatu yang otonom. Negara tidak bisa dipengaruhi oleh keyakinan ataupun agama tertentu. Kalaupun ada pengaruh sebatas pada dataran semangat tidak sampai menyentuh pada seluruh aspek. Pandangan substan-sialisme tercerahkan dengan semangat sekularisasi di dunia Islam. Faham ini dilontarkan pertama kali oleh seorang Hakim sekaligus dosen Universitas Al-Azhar dalam karyanya Al-Islam Ushul Wa Al-Hukmi, Ali Abdur Raziq. Dalam pemikiran Ali Abdur Raziq, managemen negara Islam selama ini hanya terpaku kepada ijtihad ulama. Kekhalifahan selama lebih dari 8 abad tidak lebih dari produk ulama. Dan sejarah masyarakat Islam adalah tidak layak digunakan sebagai pembenaran sebuah kebijakan masa kini. Banyak sekali kebijakan despotis negara berlangsung dan kebal kritik karena didukung ulama atas nama agama.
Usulan yang kontroversial dalam usaha merespon dan sejajar dengan managemen kenegaraan Barat, maka dunia Islam harus merubah pola managemen kenegaraan seperti Barat. Dengan semboyan, Serahkan Hak Tuhan Pada Tuhan, dan Serahkan Hak Kaisar Pada Kaisar.[44]
Aliran formalis berkecenderungan melihat kesamaan pola bahwa keberadaan negara tidak bisa dipisahkan dari agama seperti halnya pemikiran Islam Klasik. Agama dalam batas tertentu harus terlibat dalam urusan kenegaraan, simbol-simbol agama dimungkinkan tercermin dalam aspek kelembagaan negara. Pandangan formalis ini tercerahkan dengan semangat Pan-Islamisme (Persatuan Islam). Kepeloporan Pan-Islamisme dikibarkan oleh Al-Afghani maupun Sayyid Rasyid Ridha. Sebelum runtuhnya kekhilafahn Utsmani, Al-Afghani sering diundang ke Turki untuk mempertahankan secara teroritis dan konseptual tentang legitimasi lembaga kekhalifahan yang sedang mengalami krisis kepercayaan.[45]
Pan-Islamisme dalam batas tertentu adalah sebagai terapi terakhir untuk mencoba menghidupkan semangat kekhalifahan di dunia Islam. Dalam pemikiran formalisme ini mendapat klarifikasi dari Sayyid Abul A'la Al-Maududi. Maududi melihat bahwa organisasi kenegaraan adalah sesuatu yang integral dengan kekuasaan Tuhan. Suatu negara itu ada karena ada kedaulatan Tuhan atas negara, sehingga aturan-aturan dalam negara harus mencerminkan kedulatan Tuhan. Ungkapan ini kemudian diistilahi dengan istilah theo-Demokrasi, sebagai bentuk pendefinisian kembali demokrasi menurut pandangan Islam.[46]
Pada akhirnya pandangan formalis Maududi adalah bagaimana mengformat sebuah negara adalah sebagai negara dunia (world-state). Dan ini tidak bisa dipisahkan dari konsep kekhalifahan dalam pemikiran Islam klasik. Sekaligus Maududi memberikan klarifikasi tentang fenomena kerajaan di dunia Islam, secara tegas Maududi mengatakan bahwa Khilafah Bukan Kerajaan. Khilafah dipandu oleh musyawarah sedangkan kerajaan dipandu oleh kepentingan kaum tertentu. Kerajaan pada akhirnya hanya akan mengambalikan kekuasaan ke dalam batas wilayah, ras dan kepentingan tertentu. Pandangan formalis kemudian banyak berdekatan dengan pemikiran fundamentalisme Islam yang ingin meletakkan urusan agama dan negara adalah urusan yang satu (din wa daulah).[47]
E. PENUTUP
Sejarah Islam bisa dibaca sesuai dengan institusi agama dan negara yang dialami atau dibangun oleh rezim yang berbeda. Model hubungan yang dikehendaki sebenarnya adalah penyatuan utuh institusi agama dan negara berdasarkan prototipe masyarakat, sebagaimana yang dibangun Nabi di Madinah. Dalam model seperti itu berarti tidak ada pemisahan antara institusi agama dan politik. Masyarakat diorientasikan pada satu figur, dan dengan hirarki dan sentralisasi yang kuat. Para khalifah yang memegang pemerintahan sepeninggal Nabi, masih berusaha untuk mempertahankan model tersebut. Namun dalam kenyataannya model tersebut terasa tidak mudah untuk bisa diprertahankan dengan baik.
Model pemisahan antara otoritas agama dan politik nampaknya sedikit demi sedikit mulai muncul, dan semakin lama semakin dominan dipraktikkan oleh mayoritas pemerintahan Islam yang jaraknya jauh dari masa Nabi SAW. Praktik sedemikian itu bisa dirasakan dengan jelas dari bagaimana mereka mengendalikan pemerintahan. Meskipun praktik tersebut tidak penah diakui secara terbuka oleh rezim yang bersangkutan karena mereka masih menganggap pentingnya mendapatkan legitimasi keagamaan.
Pada konteks sekarang penyatuan ideal ini seakan sudah tidak mungkin dicapai setelah Nabi meninggal karena tidak mudah mendapatkan seseorang pada saat ini yang memiliki otoritas politik dan keagamaan seperti Beliau. Yang ada kebanyakan pemimpin Muslim sekarang menggunakan legitimasi agama hanya untuk kepentingan politik mereka. Bahkan karena legitimasi keagamaan merupakan hal yang penting bagi penguasa untuk mempertahankan otoritas politiknya terhadap ummat Islam, tidak mengherankan, jika mereka lalu cenderung mengklaim bahwa mereka memiliki otoritas keagamaan.
Sebagai akhir kesimpulan dari seluruh pembahasan yang ada dalam makalah ini bahwa model penyatuan utuh urusan agama dan negara yang disesuaikan dengan prototipe masyarakat, sebagaimana yang dibangun Nabi di Madinah, tetap menjadi model ideal pemerintah. Namun dalam situasi yang berbeda, sebagaimana situasi pada umumnya saat ini, otoritas keagamaan adakalanya bahkan harus dipisahkan dari kekuasaan politik, untuk menjaga keberadaan agama agar tidak ditunggangi sebagai alat politik. Dengan demikian pula urusan agama bisa dijalankan sebagimana mestinya.
[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Press, 1985), Jilid I, hlm. 50
[2] Bahasan selengkapnya ungkapan ini bisa dilihat dalam tulisan Jusuf Syoeb, Sejarah Khalifah Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
[3] Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History, Terj. Munir A. Muin, Akar-akar Krisis Politik Dalam Sejarah Muslim, (Bandung: PT. Mizan, 2004), hlm. 202
[4] Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 106
[5] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI-Press, 1990), hlm. 108
[6] Al-Qur’an, surah al-An’am, ayat 165
[7] Al-Qur’an, surah al-Nisaa’, ayat 59
[8] Muhammad Iqbal, Fiqih…, hlm. 107
[9] Ibid, hlm. 109
[10] Ibid, hlm. 112
[11] Munawir Sadzali, Islam…, hlm. 211
[12] Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), cet. VI, hlm. 5
[13] Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), cet. II, hlm. 385
[14] Imam Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al-Madzahib a- Islamiyyah, terj. Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996), cet. I, hlm.34.
[15] Suyut Pulungan, Fiqih Siyasah, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997), cet III, hlm.207
[16] Ibid, hlm. 208
[17] Muhammad Iqbal, Fiqih…, hlm. 24
[18] Ibid, hlm.63
[19] Ibid, hlm. 120
[20] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran -Aliran Sejarah Analis Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet.V,hlm.13
[21] Imam Muhammad Abu Zahroh, Tarikh…, hlm. 65
[22] Munawir Sjadzali, Islam…, hlm. 217
[23] Imam Muhammad Abu Zahroh, Tarikh…, hlm. 69-70
[24] Muhammad Iqbal, Fiqih…, hlm. 121
[25] Ibid,hal.24
[26] Munawir Sjadzali, Islam…, hlm. 218
[27] Harun Nasution,Teologi…, hlm. 38
[28] Suyut Pulungan, Fiqih…, hlm. 209
[29] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 48-49
[30]Ibid., hlm. 52
[31]Abul Hasan Ali al-Hasany an-Nadwy, Kerugian Dunia Karena Kemunduran Islam, (Surabaya: Bina Ilmu,1984), hlm. 164-170
[32] Selengkapnya lihat di Zainal Abidin Ahmad, Negara Adil dan Makmur Menurut Ibnu Sina, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978)
[33] ibid.
[34]Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah TentangPemerintahan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 15
[35]Abul Hasan Ali al-Hasany an-Nadwy, Kerugian..., hlm. 159
[36] Selengkapnya lihat Jusuf Syoe'b, Sejarah Abbassiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
[37]Muhammad Diya al-Din al-Rayyis, Al-Nazariyat al-Siyasah al-Islamiyah, (Cairo: Dar al-Ma'arif bi Misr, 1969), hlm. 92
[38] Lihat dalam Ali Gharisah, Metode Pemikiran Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
[39] Husein bin Muhsin bin Ali Jabir, Memmbentuk Jama'atul Muslimin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), hlm. 57-58
[40] Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-Masalah Teori Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 75-78
[41]Lihat dalam Ali Rahmena (ed.), Para Perintis Jalan Baru Islam (terjemahan), (Bandung: Mizan, 1995), terutama dalam Pendahuluan.
[42]Lihat dalam Shireen T Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism: Unity and Diversity, (Bloominton: Indianapolis University, 1988).
[43] Ibid.
[44] John J. Donohue, dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 39-42
[45]Lihat dalam Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997)
[46]Ibid., hal. 158
[47]Shireen T. Hunter, The Politics ..., hlm. 10-11
Islam boleh jadi merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik, terentang mulai masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Di Madinah, tempat hijrah Nabi, Beliau berhasil menyatukan komunitas sosial, yakni kaum pemukim dan kaum pendatang. Lebih dari itu, di Madinah, Nabi juga berhasil mengatur kehidupan kaum Muslim, Nasrani, serta Yahudi dalam komunitas “Negara Madinah” atau “masyarakat Madinah”. Komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah inilah yang belakangan acap dirujuk oleh para pemikir Muslim, baik yang liberal maupun yang fundamentalis, sebagai masyarakat Islam ideal. Pemikir liberal lebih suka menyebut komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah sebagai “masyarakat madani”, sedangkan mereka yang fundamentalis lebih nyaman menyebut “Negara Madinah”. Namun sepeninggal Nabi yang wafat pada tahun 632 M pemikiran politik Islam tidak pernah lepas diwarnai oleh perdebatan tentang sistem pemerintah, khususnya mengenai hubungan khalifah dan negara.
Setelah lebih dari 10 abad lamanya Islam berkuasa, pada akhirnya Dinasti Utsmani, yang berpusat di Turki setelah sempat menjadi dinasti paling terkemuka, namun kemudian mengalami kemunduran dan dibubarkan pada 1924. Maka dinasti ini merupakan pemerintaahan Islam yang terakhir. Kemunduran ini menandai mulai berpengaruhnya pemikiran politik Barat. Para pemikir yang diidentifikasi sebagai pemikir liberal bermunculan. Mereka antara lain Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, yang menganut paham pemisahan agama dan politik. Berpijak pada kemajuan Barat, para pemikir Muslim ini menawarkan pemikiran modernism. Tapi kemajuan Barat dewasa ini memunculkan reaksi di kalangan pemikir Islam fundamentalis. Mereka menginginkan kembali kehidupan masyarakat Muslim dewasa ini mencontoh kehidupan di masa Nabi atau setidaknya masa kejayaan dinasti-dinasti di masa awal Islam. Itu berarti mereka menginginkan tidak adanya pemisahan agama dan politik.
Adapun pembahasan lebih lengkapnya tentang politik pemerintahan Islam ini akan diuraikan lebih jauh dalam makalah ini.
B. SEJARAH POLITIK ISLAM
Dengan dirumuskannya Piagam Madinah oleh Nabi Muhammad SAW setelah beliau hijrah ke Madinah, sebenarnya ini merupakan tonggak utama lahirnya pemerintahan Islam. Menurut Harun Nasution, Piagam Madinah tersebut mengandung aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah, agar terbentuk kesatuan hidup diantara seluruh penghuninya. Kesatuan hidup ini dipimpin oleh Muhammad SAW sendiri. Kesepakatan contract social inilah yang menjadi dokumen konstitusi bagi lahirnya negara yang berdaulat. Dengan demikian, di Madinah nabi Muhammad bukan hanya mengemban tugas-tugas keagamaan sebagai Rasulullah, melainkan juga sebagai kepala Negara.[1]
Piagam Madinah ini merupakan embrio akan terlahirnya praktek politik dikemudian hari yang dialami oleh para khalifah (pemimpin negara) berikutnya sepeniggalnya Nabi Muhammad SAW. Ketika Nabi Muhammad Saw wafat pada tahun 632 M. Pada waktu itu, dengan segala situasinya, beliau tidak meninggalkan wasiat maupun arahan tentang figur atau siapa pengganti beliau. Umat Islam secara politis tidak siap ditinggalkan oleh Nabi. Maka masyarakat di Madinah pun sibuk memikirkan siapa pengganti Nabi sebagai kepala negara sepeninggal beliau. Maka sejak saat itulah mulai muncul benih-benih politik yang tidak bisa dielakkan oleh pemimpin-pemimpin pemerintahan berikutnya, yang dijalankan oleh para sahabat yang empat, yang dikenal dengan sebutan Khulafah al-Rasyidin. Kenyataan praktek perpolitikan semasa pemerintahan dipegang para sahabat ini pada masa-masa awal belum seberapa muncul, namun kenyataan ini semakin tampil nyata pada masa-masa akhir Khulafah al-Rasyidin, sehingga timbul beberapa mazhab politik.
1. Politik Masa Khulafa al-Rasyidin dan Madzhab Politik
Istilah kekhalifahan dalam bentuk pemerintahan berawal dari Khalifah al-Rasyidin. Khalifah al-Rasyidin sendiri berjalan dalam rentang waktu 29 tahun. Khalifah yang menjalankan roda pemerintahan, dari Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib. Kekhalifahan al-Rasyidin memegang dan menjalankan pemerintahan tetap di Madinah. Periode kekhalifahan pada rentang waktu ini mendapat sorotan dan pujian yang sangat mendalam dalam sejarah, sehingga kekhalifahan ini mendapat gelar Ar-Rasyidin (yang lurus).[2]
Namun demikian, pada masa Khulafah al-Rasyidin ini tidak terlepas dari krisis. Krisis yang terjadi bukan merupakan krisis kepribadian diantara keempat Khulafah al-Rasyidin, melainkan krisis otoritas yang sah. Masalah yang diperdebatkan bukanlah siapa, melainkan bagaimana memilih seorang pengganti nabi dan menetapkan cakupan dan kewenangannya.[3] Jadi, pada masa awal sejarah Islam terjadi krisis politik bukan krisis keagamaan, seperti kemelut institusional yang dialami kaum Muslim pada periode awal politik Islam.
Semenjak Abu Bakar naik sebagai khalifah pertama Islam, diskursus politik sangat marak. Baik dalam perbincangan aktor, apakah Abu Bakar sebagai seorang kepala pemerintahan saja atau sebagai sekaligus pemimpin agama. Di mana ditandai dengan perseteruan yang keras antara kalangan Muhajirin yang beretnis Quraisy yang merasa sebagai pembela Islam pertama dengan kalangan Anshor, yang merasa memiliki tanah air Islam pertama. Bahkan perbincangan dengan keputusan Abu Bakar untuk memerangi orang yang tidak membayar pajak, juga telah menimbulkan sejarah baru tentang perkembangan pemikiran politik. Sebab selama Rasul hidup, beliau tidak pernah menjatuhkan hukum perang kepada orang yang tidak mau membayar zakat.
Pergulatan pemikiran politik Islam juga cukup menonjol dalam mensikapi pemerintahan Umar bin Khattab yang sangat tegas tetapi demokratis. Banyak kebijakan-kebijakan politik Umar bin Khattab yang berbeda dengan kebijakan Nabi, semisal dalam persoalan pembagian harta rampasan perang. Apakah ini ijtihadi politik Umar sendiri, atau bukan? Umar bin Khattab juga seorang pemimpin yang ingin meletakkan politik dalam panggung keadilan, hal ini tercemin dalam sikap Umar ketika dilantik menjadi Khalifah. Ia mengangkat pedang tinggi, untuk membela Islam, jika ia tidak selaras dengan Islam, maka ia menyuruh masyarakat mengingatkannya dengan pedang pula.
Demikian juga dalam masa pemerintahan Khalifah Utsman, pemikiran politik tentang koalisi, aliansi tampaknya sangat menonjol. Posisi usia Utsman yang sudah cukup tua, yang kemudian dimanfaatkan oleh kerabat dekat Utsman untuk mempengaruhi roda pemerintahan. Di mana kemudian ditandai dengan kondisi nepotisme dalam pemerintahan Utsman.
Kondisi yang paling menegangkan, sehingga menimbulkan banyak pola pemikiran politik adalah ketika Ali bin Abu Thalib diangkat menjadi Khalifah. Konflik politik berkepanjangan berkaitan dengan pembunuhan Utsman, menjadikan sebab timbulnya perang saudara di sesama Muslim. Bahkan istri Rasulullah sendiri, Aisyah, ikut mempimpin perang melawan Ali dalam perang Jamal (Onta). Yang mana dikemudian hari menjadi diskursus panjang tentang boleh tidak wanita menjadi pemimpin suatu kaum. Dalam masa inilah kemudian, perbedaan kepentingan aqidah dipolitisir lebih jauh menjadi sebuah kepentingan politik. Dinamika politik inilah yang kemudian melahirkan mazhab politik Islam klasik yang terbagi dalam beberapa mazhab besar; yakni Sunni, Syi'ah, Khawarij, dan Mu’tazilah. Dari mazhab-mazhab politik yang masing-masing punya pandangan sendiri ini, di kemudian hari melahirkan derivasi pemikiran yang sangat kompleks dan berkelanjutan.
a. Pemikiran Politik Sunni
Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada pemerintah yang berkuasa. Pemikiran-pemikiran dari ahli-ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan. Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintahkan.[4]
Ibnu Taimiyah sebagaimana dijelaskan Iqbal, telas merumuskan bahwa enam puluh tahun berada di bawah rezim penguasa zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa pemimpin. Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara mengemukakan pendapat Ghazali, Ibnu Abi Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah menyatakan dengan tegas bahwasannya kekuasaan kepala negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya, dan disebutkan pula bahwa ketiga pemikir itu berpendirian bahwa khalifah itu adalah muqaddas atau suci, tidak dapat diganggu gugat.[5] Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi keistimewaan hak-hak khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu:
uqèdur “Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚö‘F{$# yìsùu‘ur öNä3ŸÒ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_u‘yŠ öNä.uqè=ö7uŠÏj9 ’Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7/u‘ ßìƒÎŽ| É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Ö‘qàÿtós9 7LìÏm§‘ [6]
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? [7]
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua ayat diatas merupakan penegasan Allah bahwa Ia telah memberi keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan dan memperkokoh kedudukan mereka di bumi-Nya. Disamping itu Allah SWT mewajibkan kepada para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah mereka.Pandangan hampir serupa dikemukakan oleh al-Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i, menurutnya, mustahil ajaran-ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang pendukungnya adalah negara.[8]
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum – hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah.[9]
Mawardi berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial. Dari pendapat Mawardi ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak yakni rakyat dan penguasa. Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari al-Mawardi yakni menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih. Kepatuhan ini tidak hanya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada pemimpin yang jahat.
Ciri lain didalam pemikiran politik golongan Sunni ini adalah penekanan mereka terhadap suku Quraisy sebagai kepala negara walaupun Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggungnya secara tegas, dan Muhammad Iqbal memasukkan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha yang hidup dimasa modern yang masih menekankan suku Quraisy di dalam pemikiran politiknya.
Namun sebagai mana disinggung Iqbal pula yang memasukkan pola pemikiran Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa syarat Quraisy bukanlah sebuah harga mati.
b. Pemikiran Politik Syi’ah
Sebelum merambah lebih jauh lebih jauh mengenai pemikiran politik Syi’ah terasa tidak sah dan nyaman bila tidak mengetahui sejarah lahirnya kelompok ini. Mengenai kelahiran kelompok ini banyak sekali aneka ragamnya, sebagaimana dijelaskan oleh Iqbal yang mengatakan bahwasannya Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam percaturan politik Islam,[10] selanjutnya Munawir Sjadzali mengatakan titik awal dari lahirnya Syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali,[11] para ahli penulis sejarah sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam sebagian menganggap Syi’ah lahir setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshor di Balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah,[12] yang diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan Dar al-Nadwa di Madinah,[13] dan lebih jauh dijelaskan sebagian ahli sejarah menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan dijelaskan dalam Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan bahwasannya pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa al-Tahkim atau arbitasi. Dan Abu Zahroh memperkuat atas pendapat ini dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik pertama lahir dalam Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Atsman, kemudian tampil pada akhir masa Ali.[14]
Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam.
Didalam menetapkanb apakah seseorang bisa diangkat menjadi imam atau tidak, Kaum Syi’ah mempunyai persyaratan sebagai berikut:[15]
1) Harus ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
2) Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
3) Seorang iam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubugan dengan syari’at.
4) Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.
Ada satu aliran cabang dalam golongan Syi’ah yang berbeda dari kelompok syi’ah lainnya, yaitu Syi’ah Zaidiyah. Golongan ini tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi. Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam. Nabi hanya menetapkan sifat-sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau. Terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimana dijelaskan oleh suyuti tidak bisa terlepas dari hubungannya dengan adanya pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase). Tentunya untuk mengimbangi pernyatan dari kaum yang mereka anggap berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah membuat doktrin untuk menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk pengganti Nabi.[16]
Iqbal menulis, secara sosio politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, imam-imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan politik. Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi. Mereka tidak memiliki pengalaman praktis dalam memerintah dan menangani permaslahan politik riil. Ketika mereka melihat realitas politik tidak sesuai dengan nilai-nilai keIslaman sebagaiman mereka inginkan, maka mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam. Sebagian pemimpin yang ide. Kedua, sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri. Ketiga, pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al-Mahdi al-Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari penderitaan.
Dari sekian banyak kelompok ditubuh syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini menjadi tiga aliran:pertama: Moderat, umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.Kedua:Ekstrem, menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.Ketiga: diantara kedua kelompok diatas, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak seperti nabi yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.
Diantara sekian banyak sekte, terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalammazhab Syi’ah hingga sekarang yaitu: Zaidiyyah, Ismailiyyah (Sab’iyyah), dan Imamiyah (Isna’ Asy’ariyah).[17] Adapun nama-nama masing-masing imam dalam tubuh Syi’ah adalah sebagai berikut:
1) Syi’ah Zaidiyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein Ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Zaid ibn Ali.
2) Syi’ah Isma’iliyah atau Sab’iyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far
al-Shadiq, Isma’il ibn Ali.
3) Syi’ah Imamiyyah atau Isna ‘Asyariyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al-Baqir,
Ja’far al-Shadiq, Musa al-Kadzim, Ali al-Ridho, Muhammad al-Taqi’, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari, Muhammad al-Mahdi.
c. Pemikiran Politik Khawarij
Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah. Masing-masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib. Pada awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah.[18]
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin.[19] Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat Abu Musa al-Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok.[20]
Menurut mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia.[21] Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari pada Sunni maupun Syi’ah. Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.
Suatu hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak-hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah. Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana pandangan Sunni misalkan saja pandangan al-Ghazali, al-Juwaini, al-Asqolani, al-Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern,[22] juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum Syi’ah. Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang disepakati oleh aliran-aliran Khawarij.[23]
Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar-benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi. Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at, serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan. Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya, apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka. Jadi pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersift kebolehan. Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al-Zubair, dan para tokoh sahabat lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan mereka mengutamakan orang selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawrij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi seorang yang sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, hal ini menujukkan kedemokrasian kelompok ini.[24]
d. Pemikiran Politik Mu’tazilah
Kelompok Mu’tazilah ini pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali.[25] Mereka, khususnya berusaha mengambil sikap yang lebih rasional dalam menanggapi terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat.
Penamaan kelompok ini dengan sebutan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan-perbedaan antara Washil Ibn Atha degan gurunya, Hasan al-Bashri, pada abad ke II H tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa.[26] Dalam hal ini Harun Nasution[27] menjelaskan bahwa banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah. Para ahli sebenarnya telah mengajukan beberapa pendapat mereka, namun demikian belum ada kata sepakat diantara mereka.
Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran-pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al-Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia.[28]
Abd al-Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.
C. POLITIK PEMERINTAH ISLAM PASCA KHULAFAH AL-RASYIDIN
Kekhalifahan pasca Khulafa al-Rasyidin diawali sejak terjadinya kekacauan politik antara Ali bin Abi Thalib yang memegang pemarintahan sah pada waktu itu, dengan Muawiyah bin Abi Sofyan, yang pada akhirnya berhasil menggusur pemerintahan Ali. Dalam situasi perpolitikan yang kacau balau, hingga mendorong lahirnya beberapa Madzhab politik tersebut, bahkan sampai mengakibatkan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Mu'awiyyah bin Abi Sofyan, yang menggusur pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tersebut adalah kemenakan dari Utsman bin Affan, pemegang pemerintahan sebelum Ali bin Abi Thalib. Mu'awiyyah sendiri selama kepemimpinan pemerintahan Utsman bin Affan, menjabat Gubernur di Damaskus, sehingga ketika Utsman wafat maka posisi Mu'awiyyah sebagai gubernur terancam, maka terjadilah manuver untuk menggoyang kepemimpinan Khalifah Ali bin Abu Thalib.
Kematian Ali bin Abi Thalib memungkinkan Mu'wiyyah untuk menampilkan diri, apalagi dengan terbunuhnya anak Ali, Husein bin Ali, dalam perang di padang Karbala, menjadikan posisi Mu'awiyyah semakin kuat. Hal pertama yang dilakukan oleh khalifah Mu'awiyyah adalah melakukan perpindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Hal yang juga tak kalah pentingnya, Mu'awiyyah melakukan adopsi sistem pemerintahan dari Romawi maupun Persia untuk mendukung pemerintahannya. Jika dalam masalah pengangkatan pemimpin, dilakukan oleh Majlis Syuro yang akan memilih dari beberapa orang yang telah ditunjuk oleh khalifah sebelumnya, Muawiyyah memperkenalkan pemaknaan baru. Pemaknaan penunjukkan ini dilakukan langsung oleh Mu'awiyyah kepada putranya, dan Majlis Syuro dibuat untuk melegalisasikan. Sehingga pada masa pemerintahan Mu'awiyyah lebih menampilkan pemerintahan dinasti dibandingkan dengan khalifah. Bai'ah sebagai sarana penerimaan kepada Khalifah juga dilakukan revisi, di mana bai'ah dilakukan oleh Ahlu al-hal wa al-aqdi yang ditunjuk oleh Mu'awiyyah sendiri untuk membai'ah putranya, tidak harus secara langsung rakyat membai'ah. Dalam batasan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, masa kekhalifahan Ummayah dikenal dengan periode kekhalifahan yang sombong.
Sehingga dalam masa pemerintahan kekhalifahan kedua ini, sejarah menyebutnya dengan Kekhalifahan Ummayah (Keluarga Ummayah). Masa kekhalifahan Ummayah berjalan cukup lama, sekitar 90 tahun. Hal yang cukup monumental selama khilafah Ummayah adalah dalam hal perluasan wilayah dari Asia Selatan sampai Spanyol, mulai diperkenalkannya sistem mata uang, penggajian pegawai, diperkenalkannya Qadhi (hakim khusus) sebagai bidang yang tersendiri yang tidak di bawah kendali langsung khalifah.
Meskipun demikian kekhalifahan Ummayah akhirnya runtuh digantikan oleh kekhalifahan Abbassiyah. Adapun beberapa hal yang menyebabkan kemerosotan kekhalifahan Ummayah adalah sebagai berikut:
a. Pola suksesi yang bersifat senioritas, dan tidak jelas, sehingga pada akhirnya menyebabkan persaingan di antara keluarga
istana.
b. Latar belakang berdirinya Ummayah adalah latar belakang konflik.
c. Luas wilayah Ummayah yang menyebabkan persaingan antar wilayah.
d. Lemahnya pemerintahan Ummayah karena moral khalifah yang suka bermewah-mewah, dan tidak mendapat dukungan
ulama.
e. Munculnya kekuatan baru dari keturunan Abbas bin Munthalib, yang mendapat dukungan dari golongan Syi'ah dan Mawali yang
dikecewakan oleh Ummayah.[29]
Setelah runtuhnya kekhalifahan Ummayah diganti dengan kekhalifahan Abbasiyyah. Kekhalifahan Abbas-siyyah didirikan oleh Abdullah bin Saffah ibnu Muhammad ibnu Ali ibnu Abdullah bin Abbas. Pemerintahan khilafah Abbasiyah merupakan kekhalifahan yang paling lama mencapai 588 tahun.
Abdullah bin Saffah dalam membangun memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Khalifah Abasiyyah juga melestarikan pola pemerintahan dan suksesi pemerintahan seperti kekhalifahan Ummayah, demikian pula dengan melakukan perlebaran kekuasaan. Khilafah Abbasiyyah juga memperkenalkan depatermen baru yang dikenal dengan Wazir. Wazir berfungsi sebagai koordinator kelembagaan antar departemen, dan wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak (orang Persia).
Hal yang menarik dalam kekhalifahan Abbasiyah adalah interprestasi tentang khalifah sebagai: Innama anaa sulthaan Allah fi ardhlihi (Sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya). Di mana membuka terminologi baru, bahwa kekhalifahan bukanlah sebagai pengganti nabi, bukan mandat dari manusia tetapi merupakan mandat dari Alloh. Penafsiran baru ini dilakukan semasa khalifah al-Makmun.[30]
Ternyata Abbasiyyah yang sangat luas tersebut mengalami proses sejarah berikutnya, yakni dengan kemunduran-kemundurannya bahkan sampai jatuhnya kekhalifahan Abbasiyyah. Hal-hal yang menyebabkan keruntuhan itu sendiri antara lain:
a. Luasnya kekuasaan Abbasiyyah, sementara tidak terjadinya control dan komunikasi yang memadai.
b. Profesionalisme militer, yang menyebabkan ketergantungan khalifah pada militer yang sangat tinggi.
c. Tentara bayaran, sebagai tentara profesional menghabiskan pembiayaan negara.
Sedangkan menurut Abu Hasan An-Nadwy secara spesifik menguraikan keruntuhan kekhalifahan Islam karena beberapa hal: [31]
a. Penyerahkan kepemimpinan secara acak, yang menyebabkan persoalan kepemimpinan tidak diserahkan kepada ahlinya.
b. Jauhnya semangat agama dalam gelanggang politik.
c. Sifat jahilnya para penguasa, dengan suka bermewah-mewah dan berfoya-foya. Masalah ini terekam dalam tulisan
Al-Ashfahani dalam Al-Aghani dan Al-jahidh dalam Khayawan.
d. Para Penguasa tidak memberikan contoh yang baik tentang Islam.
e. Kurangnya perhatian pada ilmu praktek yang ber-manfaat, di mana lebih menfokuskan pada kajian-kajian metafisika.
f. Timbulnya bid'ah dan kesesatan
D. PEMIKIRAN ISLAM KLASIK DAN MODERN
Sejalan dengan perjalanannya, secara garis besar pembahasan pemikiran politik Islam bisa digolongkan kedalam dua kategori besar, yaitu pemikiran politik Islam klasik dan pemikiran Islam modern, dimana dua kategori tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda.
1. Pemikiran Politik Islam Klasik
Dalam sejarah pertumbuhan peranan negara dalam pemikiran politik Islam klasik menduduki posisi sentral atas keberlangsungan Islam sebagai ajaran yang total dan fundamental. Keberadaan negara dalam batas tertentu adalah sebagai penjamin terlaksana atau tidaknya syari'ah Islam. Pemikiran Islam klasik dalam kaitannya dengan managemen kenegaraan terdapat variasi pendekatan: Sentralisme Khalifah , Institusionalisme, dan Organisme.
Managemen kenagaraan dengan pendekatan sentralisme banyak dikemukakan oleh para filsof baik dari Al-Farabi, Ibnu Sina maupun Al-Ghazali. Pandangan Farabi dan Ibnu Sina dalam batas tertentu terasa sangat idealis dimana khalifah harus dipegang oleh seorang filsuf sebagai bentuk pengaruh pemikiran Yunani.[32]
Pandangan Al-Ghazali menjadi lebih realistis dibandingkan dengan mereka karena Ghazali pernah terlibat dalam pemerintahan dinasti Abbasiyah, sekaligus teman karib dari Perdana Menteri Nizhamul Mulk. Pandangan kaum filsof menempatkan bahwa negara akan baik dan tidak sangat tergantung kepada sang Khalifah, jika khalifah baik maka negara akan baik. Khalifah merupakan implementasi bayangan Tuhan di bumi.
Sentralnya peran Khalifah tercermin dalam pernyataan Ghazali dalam Mukadimmah buku "Al-Muhtazhir": Pertama, sesungguhnya keberesan agama tidaklah tercapai kalau dunianya tidak beres, sedangkan keberesan dunia tergantung kepada khalifah yang ditaati. Kedua, ketentraman dunia dan keselamatan jiwa dan harta hanyalah dapat diatur dengan adanya khalifah yang ditaati. Dengan alasan ini, Ghazali secara tegas menyatakan syarat menjadi seorang khalifah adalah mewakili pribadi para shahabat utama, dimana memenuhi syarat ilmiyah dan amaliyah. Syarat ilmiyah yang berkaitan dengan kepribadian yang baik, sedang amaliyah yang berkaitan dengan perasaan emphati kepada lingkungan dengan baik. Dimana kemudian terangkum kedalam persyaratan yang empat, yang antara lain yaitu: najah (kemampuan bertindak), kewibawaan, wara' (jujur), dan ilman (cerdas). Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka ia akan ditempatkan ke dalam level yang lebih rendah wewenangnya dalam kepemimpinan sesuai dengan gelarnya. Khalifah bagi yang memenuhi syarat kesemuanya, Imam Dharury, khalifah yang diangkat karena dharurat saja, Wali bisy-syaukah, kepala negara yang merampas kekuasaan, dan zus syaukah[33], Sehingga baik buruknya akhlaq seorang kepala negara menjadi prasyarat utama dari khalifah.
Sedangkan pendekatan institusional banyak dipelopori oleh Imam Mawardi, karya terbesarnya dalam politik terangkum dalam "Al-Ahkam As-Sulthaniyyah". Bagi Mawardi yang paling penting dalam pengelolaan negara adalah pemantapan struktur dan fungsi kelembagaan, terutama sekali kelembagaan kepala negara (khalifah) dan yang memilih kepala negara (ahl-ikhtiar). Orang-orang yang tergabung dalam kelembagaan ini adalah orang-orang yang terpercaya, ahlul hal wal aqdi (orang yang faham akan satu hal (profesional) sekaligus orang yang adil). Pandangan Mawardi tidak banyak berbeda dalam memandang peran kepala negara (khalifah) sebagai bagian yang sentral.
Pandangan seperti ini memancing kritik bahwa Mawardi dalam merumuskan tulisannya atas dasar apalogi dan legitimasi kekuasaan kekhalifahan, terutama dalam hal pembenaran pergantian khalifah secara turun-temurun jika keadaan terpaksa.[34]
Pandangan Mawardi tidak bisa dilepaskan dari kedudukan Mawardi sebagai sebagai seorang Wazir (Penasehat) dalam masa khalifah al-Qadir dan al-Qasim pada pemerintahan Abbasiyah. Mawardi mendapatkan perintah dari khalifah bagaimana secara teoritis bisa mempertahankan kelangsungan kekhalifahan Sunni yang sedang dalam kemunduran. Nasehat-nasehat Mawardi ini di kemudian hari disadur oleh Machiavelli dalam "Sang Pangeran" sebagai nasehat kepada raja bagaimana menjalankan pemerintahan yang diambang kemunduran.
Pandangan yang ketiga dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah di mana melandaskan pemikirannya bahwa baik-buruknya suatu pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh kualitas yang baik dari kepala negara akan tetapi oleh organ kenegaraan secara luas. Pandangan Ibnu Taimiyyah banyak dirujuk dari bukunya Minhajul Sunnah dan Siyasah Asy-Syar'iyyah. Fungsi organisme yang ditamsilkan oleh hadis tentang hubungan antar mukmin sebagai saudara dan bangunan yang saling melengkapi disadurnya dalam bentuk pemerintahan.
Dengan pandangan ini Taimiyyah melakukan reformasi sekaligus melakukan kritik sosial terhadap sistem kekhalifahan. Runtuh dan hancurnya sistem kekhalifahan pada satu sisi disebabkan karena masalah akhlaq pemimpin yang merosot.[35]
Akan tetapi tidak berfungsinya lembaga-lembaga pendukung kekhalifahan yang selamanya ini tampak hanya sebagai pelengkap saja. Ketergantungan yang besar kepada sang Khalifah dalam batas tertentu menghasilkan kinerja kekhalifahan yang sesukanya yang kemudian mengarah kepada dekadensi moral. Runtuhnya kekhalifahan Abbasiyyah sebagai akibat serangan tentara Monghol secara mendadak karena terjadinya pengkhianatan Wazir terhadap kekhalifahan, di mana Khalifah sendiri tidak menyadarinya. [36]
Dari pijakan ini Taimiyyah melakukan reformasi terhadap gejala pengagungan Khalifah pada mazhab Sunni maupun Imam Ma'shum pada mazhab Syi'ah sekaligus melakukan kriitikan kepada mazhab Khawarij. Pandangan ini sebagai upaya untuk mengkatrol peran ummah sebagai bagian yang spesfik dari negara untuk turut menentukan kehidupan bernegara.
Dalam batasan tertentu posisi kepala negara akan banyak ditentukan oleh Ummah yang terwakili dalam lembaga legistatif. Posisi Ummah ini sebagai sarana transformasi yang memiliki kedudukan suci sebagaimana kedudukan Nabi.[37] Pemimpin yang sudah terpilih oleh lembaga tersebut harus dibai'ah (disumpah dan dipersaksikan). Dalam proses bai'ah ini, rakyat atau anggota masyarakat diperkenankan tidak membai'ah dan tidak akan dikenakan penjara dan ancaman subversif.
Pandangan Ibnu Taimiyah ini sebagai reaksi dari masa dis-integrasi kekhalifahan Abbasiyah dan keimamahan Syiah. Ibnu Taimiyah yang besar dengan mazhab Hambali yang kritis terhadap pemerintahan tidak banyak melakukan pembelaan akan pemerintahaan yang ada akan tetapi melakukan pembenahan-pembenahan kenegaraan menurut pedoman Qur'an dan Sunnah sekaligus dengan menggunakan kekuatan akal.
Dasar-dasar peletakan pemikiran Ibnu Taimiyyah mengilhami penggalian-penggalian asas politik Islam secara lebih cermat. Seperti masalah keadilan, Ibnu Taimiyyah memberikan peryataan yang cukup kontroversi dengan ungkapan "Lebih baik dipimpin oleh orang kafir yang adil daripada dipimpin orang Islam yang zhalim". Pernyataan seperti ini jelas tidak bisa diterima bagi kalangan sentralisme khalifah dan institusionalis yang mengedepan-kan syarat keIslaman daripada keadilan. Pandangan kontroversi ini setidaknya sebagai akumulasi masalah Taimiyyah yang menghadapi penguasa Islam yang zalim. Ibnu Taimiyyah yang bermazhab Hambali sangat sering bersitegang dengan penguasa yang kemudian menghantarkannnya ke penjara. Bahkan Taimiiyah maupun Imam Hambali meninggal di penjara.[38]
Konsep syura pada akhirnya menjadi embrio yang dikupas oleh Taimiyyah. Dengan konsep Syura, maka ummat akan ditempatkan sebagai peran yang sentral dalam kedudukan pemerintahan dan negara. Syura diambil dari kata al-istikharaaj yang maksudnya mengambil madu sedikit demi sedikit, jika hendak mengeluarkannya dari sarangnya dan memeriknya, memilih sesuatu untuk diketahui keadaannya. Atau Imam al-Qurtubi berkata bahwa kata istisyarah diambil dari perkataan Arab: Syarratid Dabbatu Wasyaurabika idza'alimat khabaraha bijarinau ghairahu (menguji hewan untuk mengetahui sejauh mana larinya atau lainnya).[39]
Syura kemudian mendapat peran yang legal untuk melakukan prinsip politik Islam berupa bai'ah. Bai'ah adalah berasal dari kata bay'a yang artinya menjual. Dalam praktek historis, bay'ah sudah dilaksanakan oleh Nabi selama 2 kali Bay'ah Aqobah I dan II) ketika di Makkah dan kemudian dikembangkan dalam parktek berikutnya.[40]
Dari ketiga perspektif pemikiran tersebut tampaknya mempunyai elan vital di jamannya. Pemikiran sentralisme khalifah dan institusionalisme melihat bahwa hanya elemen pemimpin negaralah yang mampu mempertahankan negara ancaman kehancuran dari luar. Artinya pemikiran ini sebenarnya tidak menafikan akan arti kelembagaan yang lain. Sedangkan pemikiran organis muncul sebagai bentuk terapi untuk membangun kembali sistem kenegaraan Islam yang sudah tercabik-cabik, dengan menempatkan kekuatan organis sebagai penyangganya.
2. Pemikiran Politik Islam Modern
Pemikiran Politik Islam modern mulai tampak arusnya ketika dunia Islam dalam kondisi terjajah oleh kekuatan barat. Selama ini pemikiran politik Islam, merespon persoalan internal bergeser kepada persoalan eksternal. Kondisi keterpurukan dunia Islam menjadikan pengaruh ajaran Islam dalam keseharian menjadi pudar bahkan terancam punah (perish). Hal ini yang mengilhami para tokoh pembaharu Islam seperti Jamaludin al-Afghani untuk mengumandangkan produksi pemikiran dalam mensikapi dan menggalang umat Islam dalam menghadapi.[41] Adapun corak yang mendasar dari pemikiran politik Islam modern adalah sebagai berikut: [42]
a. Formulasi pemikiran sedikit banyak sebagai respon kekalahan dunia Islam atas Barat dari pada sistem internal masyarakat Islam sendiri
b. Formulasi pemikiran sedikit banyak ingin mengembalikan pelaksanaan ajaran Islam secara murni (salafi)
c. Dalam sifat kenegaraan, terpusatkan pada usaha pembebasan negara.
Dalam perkembangan lanjut terjadi dinamika yang cukup beragam dalam meletakkan landasan dasar formulasi pemikiran. Setidaknya formulasi pemikiran terpilah dalam dua kelompok besar; pertama, Kalangan-kalangan yang ingin meletakkan usaha permurnian ajaran Islam (Purifikasi) sebagai jalan satu-satunya usaha menghadapi Barat. Ada kecenderungan kalangan ini bersikap selektif bahkan sampai menolak pemikiran Barat, dalam kerangka pembangunan masyarakat. Pemikiran ini sedikit banyak mendapatkan pengaruh dari pemikiran Imam Hambali, Ibnu Taimiyyah, di masa klasik. Gerakan purifikasi tampak difahami sebagai sarana mengembalikan kejayaan Islam di masa sebelumnya.
Sedangkan kalangan yang kedua, yakni kalangan yang sebelumnya melakukan kritik terhadap pemahaman Islam yang cenderung konservatif. Kalangan ini menjadi tercerahkan atau dalam penilaian kelompok purifikasi telah terbaratkan. Setidaknya pandangan ini berawal dari sikap akomodatif kepada Barat, di mana tercermin dengan sikap untuk membangkitkan Islam setidaknya meniru model Barat dan membangun peradaban Renaisance. Hal inilah yang kemudian mengilhami konsep sekulerisasi pemikiran politik Islam yang selama ini difahami digunakan secara sepihak oleh penguasa demi kelangsungan status quo. Pandangan ini menemukan titik sentralnya dalam tulisan politik Islam sekuler pertama yang dilakukan oleh Ali Abdul Raziq, seorang hakim syari'ah dan dosen di Al-Azhar dalam Kitabnya Al-Islam Al-Ushul Wa Al-Hukmi. Dengan gerakan ini maka pengadopsian pemikiran Barat menjadi salah satu kebutuhan yang mendasar untuk membangun masyarakat Islam.
Dalam dinamika berikutnya, pemikiran politik Islam tidak hanya merespon intervensi eksternal, yang selama ini dituduh sebagai sumber malapetaka di dunia Islam. Kekuatan eksternal juga telah memapankan eksistensinya di dunia Islam dengan membentuk seperangkat sistem kemasyarakatan yang cukup kokoh dalam menyebarkan pengaruhnya. Dari persoalan inilah muncul pemikiran Islam, yang lebih spesifik yang lahir dari gerakan-gerakan sosial (harakah Islamiyyah), yang berusaha melakukan kritisi terhdap regim pro Barat.
Format yang digunakan oleh organisasi sosial ini setidaknya terpilahkan dalam 2 pola besar, yakni: pertama, pola Ishlah (pembaharuan, memperbaiki sistem (evolusi)). Kedua, pola inqilabiah (perombakan total, revolusi). Dari dua pola besar tersebut akhirnya terpola dalam 4 pola besar:
a. Gradualis-Adaptis, di mana organisasi yang termasuk di dalamnya adalah Ikhwanul Muslimin di Maghribi dan Jama'at Islami
di Pakistan.
b. Revolusioner Syi'ah, di mana organisasi yang termasuk di dalamnya adalah Partai Republik Islam Iran, Hizbi Ad-Da'wa di
Iraq, Hizbullah Libanon, Jihad Islam Libanon.
c. Revolusioner Sunni, di mana organisasi yang termasuk di dalamnya adalah AL-Jihad Mesir, Organisasi Pembebasan Islam
Mesir, Ikhwanul Muslimin Siria, Jama'a Abu Dzar Siria, Hizb Tharir Jordania dan Siria.
d. Messianis-Primitif, di mana organisasi yang termasuk di dalamnya adalah Al-Ikhwan Saudi Arabia, Tafkir Wal Hijra Mesir,
Mahdiyya Sudan, Al-Arqam.[43]
Sedangkan diskursus tentang besar pemikiran Islam tentang managemen kenegaraan dalam masa modern ditunjukkan oleh peristiwa keruntuhan khilafah Turki Utsmani di 1924. Hancurnya model kekhalifahan klasik ini memungkinkan munculnya pemikiran-pemikiran baru. Respon terhadap fenomena ini muncul beberapa model pengelolaan negara: Subtansialisme dan formalisme.
Aliran subtansialisme berkecenderungan melihat negara sebagai sesuatu yang otonom. Negara tidak bisa dipengaruhi oleh keyakinan ataupun agama tertentu. Kalaupun ada pengaruh sebatas pada dataran semangat tidak sampai menyentuh pada seluruh aspek. Pandangan substan-sialisme tercerahkan dengan semangat sekularisasi di dunia Islam. Faham ini dilontarkan pertama kali oleh seorang Hakim sekaligus dosen Universitas Al-Azhar dalam karyanya Al-Islam Ushul Wa Al-Hukmi, Ali Abdur Raziq. Dalam pemikiran Ali Abdur Raziq, managemen negara Islam selama ini hanya terpaku kepada ijtihad ulama. Kekhalifahan selama lebih dari 8 abad tidak lebih dari produk ulama. Dan sejarah masyarakat Islam adalah tidak layak digunakan sebagai pembenaran sebuah kebijakan masa kini. Banyak sekali kebijakan despotis negara berlangsung dan kebal kritik karena didukung ulama atas nama agama.
Usulan yang kontroversial dalam usaha merespon dan sejajar dengan managemen kenegaraan Barat, maka dunia Islam harus merubah pola managemen kenegaraan seperti Barat. Dengan semboyan, Serahkan Hak Tuhan Pada Tuhan, dan Serahkan Hak Kaisar Pada Kaisar.[44]
Aliran formalis berkecenderungan melihat kesamaan pola bahwa keberadaan negara tidak bisa dipisahkan dari agama seperti halnya pemikiran Islam Klasik. Agama dalam batas tertentu harus terlibat dalam urusan kenegaraan, simbol-simbol agama dimungkinkan tercermin dalam aspek kelembagaan negara. Pandangan formalis ini tercerahkan dengan semangat Pan-Islamisme (Persatuan Islam). Kepeloporan Pan-Islamisme dikibarkan oleh Al-Afghani maupun Sayyid Rasyid Ridha. Sebelum runtuhnya kekhilafahn Utsmani, Al-Afghani sering diundang ke Turki untuk mempertahankan secara teroritis dan konseptual tentang legitimasi lembaga kekhalifahan yang sedang mengalami krisis kepercayaan.[45]
Pan-Islamisme dalam batas tertentu adalah sebagai terapi terakhir untuk mencoba menghidupkan semangat kekhalifahan di dunia Islam. Dalam pemikiran formalisme ini mendapat klarifikasi dari Sayyid Abul A'la Al-Maududi. Maududi melihat bahwa organisasi kenegaraan adalah sesuatu yang integral dengan kekuasaan Tuhan. Suatu negara itu ada karena ada kedaulatan Tuhan atas negara, sehingga aturan-aturan dalam negara harus mencerminkan kedulatan Tuhan. Ungkapan ini kemudian diistilahi dengan istilah theo-Demokrasi, sebagai bentuk pendefinisian kembali demokrasi menurut pandangan Islam.[46]
Pada akhirnya pandangan formalis Maududi adalah bagaimana mengformat sebuah negara adalah sebagai negara dunia (world-state). Dan ini tidak bisa dipisahkan dari konsep kekhalifahan dalam pemikiran Islam klasik. Sekaligus Maududi memberikan klarifikasi tentang fenomena kerajaan di dunia Islam, secara tegas Maududi mengatakan bahwa Khilafah Bukan Kerajaan. Khilafah dipandu oleh musyawarah sedangkan kerajaan dipandu oleh kepentingan kaum tertentu. Kerajaan pada akhirnya hanya akan mengambalikan kekuasaan ke dalam batas wilayah, ras dan kepentingan tertentu. Pandangan formalis kemudian banyak berdekatan dengan pemikiran fundamentalisme Islam yang ingin meletakkan urusan agama dan negara adalah urusan yang satu (din wa daulah).[47]
E. PENUTUP
Sejarah Islam bisa dibaca sesuai dengan institusi agama dan negara yang dialami atau dibangun oleh rezim yang berbeda. Model hubungan yang dikehendaki sebenarnya adalah penyatuan utuh institusi agama dan negara berdasarkan prototipe masyarakat, sebagaimana yang dibangun Nabi di Madinah. Dalam model seperti itu berarti tidak ada pemisahan antara institusi agama dan politik. Masyarakat diorientasikan pada satu figur, dan dengan hirarki dan sentralisasi yang kuat. Para khalifah yang memegang pemerintahan sepeninggal Nabi, masih berusaha untuk mempertahankan model tersebut. Namun dalam kenyataannya model tersebut terasa tidak mudah untuk bisa diprertahankan dengan baik.
Model pemisahan antara otoritas agama dan politik nampaknya sedikit demi sedikit mulai muncul, dan semakin lama semakin dominan dipraktikkan oleh mayoritas pemerintahan Islam yang jaraknya jauh dari masa Nabi SAW. Praktik sedemikian itu bisa dirasakan dengan jelas dari bagaimana mereka mengendalikan pemerintahan. Meskipun praktik tersebut tidak penah diakui secara terbuka oleh rezim yang bersangkutan karena mereka masih menganggap pentingnya mendapatkan legitimasi keagamaan.
Pada konteks sekarang penyatuan ideal ini seakan sudah tidak mungkin dicapai setelah Nabi meninggal karena tidak mudah mendapatkan seseorang pada saat ini yang memiliki otoritas politik dan keagamaan seperti Beliau. Yang ada kebanyakan pemimpin Muslim sekarang menggunakan legitimasi agama hanya untuk kepentingan politik mereka. Bahkan karena legitimasi keagamaan merupakan hal yang penting bagi penguasa untuk mempertahankan otoritas politiknya terhadap ummat Islam, tidak mengherankan, jika mereka lalu cenderung mengklaim bahwa mereka memiliki otoritas keagamaan.
Sebagai akhir kesimpulan dari seluruh pembahasan yang ada dalam makalah ini bahwa model penyatuan utuh urusan agama dan negara yang disesuaikan dengan prototipe masyarakat, sebagaimana yang dibangun Nabi di Madinah, tetap menjadi model ideal pemerintah. Namun dalam situasi yang berbeda, sebagaimana situasi pada umumnya saat ini, otoritas keagamaan adakalanya bahkan harus dipisahkan dari kekuasaan politik, untuk menjaga keberadaan agama agar tidak ditunggangi sebagai alat politik. Dengan demikian pula urusan agama bisa dijalankan sebagimana mestinya.
[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Press, 1985), Jilid I, hlm. 50
[2] Bahasan selengkapnya ungkapan ini bisa dilihat dalam tulisan Jusuf Syoeb, Sejarah Khalifah Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
[3] Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History, Terj. Munir A. Muin, Akar-akar Krisis Politik Dalam Sejarah Muslim, (Bandung: PT. Mizan, 2004), hlm. 202
[4] Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 106
[5] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI-Press, 1990), hlm. 108
[6] Al-Qur’an, surah al-An’am, ayat 165
[7] Al-Qur’an, surah al-Nisaa’, ayat 59
[8] Muhammad Iqbal, Fiqih…, hlm. 107
[9] Ibid, hlm. 109
[10] Ibid, hlm. 112
[11] Munawir Sadzali, Islam…, hlm. 211
[12] Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), cet. VI, hlm. 5
[13] Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), cet. II, hlm. 385
[14] Imam Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al-Madzahib a- Islamiyyah, terj. Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996), cet. I, hlm.34.
[15] Suyut Pulungan, Fiqih Siyasah, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997), cet III, hlm.207
[16] Ibid, hlm. 208
[17] Muhammad Iqbal, Fiqih…, hlm. 24
[18] Ibid, hlm.63
[19] Ibid, hlm. 120
[20] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran -Aliran Sejarah Analis Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet.V,hlm.13
[21] Imam Muhammad Abu Zahroh, Tarikh…, hlm. 65
[22] Munawir Sjadzali, Islam…, hlm. 217
[23] Imam Muhammad Abu Zahroh, Tarikh…, hlm. 69-70
[24] Muhammad Iqbal, Fiqih…, hlm. 121
[25] Ibid,hal.24
[26] Munawir Sjadzali, Islam…, hlm. 218
[27] Harun Nasution,Teologi…, hlm. 38
[28] Suyut Pulungan, Fiqih…, hlm. 209
[29] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 48-49
[30]Ibid., hlm. 52
[31]Abul Hasan Ali al-Hasany an-Nadwy, Kerugian Dunia Karena Kemunduran Islam, (Surabaya: Bina Ilmu,1984), hlm. 164-170
[32] Selengkapnya lihat di Zainal Abidin Ahmad, Negara Adil dan Makmur Menurut Ibnu Sina, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978)
[33] ibid.
[34]Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah TentangPemerintahan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 15
[35]Abul Hasan Ali al-Hasany an-Nadwy, Kerugian..., hlm. 159
[36] Selengkapnya lihat Jusuf Syoe'b, Sejarah Abbassiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
[37]Muhammad Diya al-Din al-Rayyis, Al-Nazariyat al-Siyasah al-Islamiyah, (Cairo: Dar al-Ma'arif bi Misr, 1969), hlm. 92
[38] Lihat dalam Ali Gharisah, Metode Pemikiran Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
[39] Husein bin Muhsin bin Ali Jabir, Memmbentuk Jama'atul Muslimin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), hlm. 57-58
[40] Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-Masalah Teori Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 75-78
[41]Lihat dalam Ali Rahmena (ed.), Para Perintis Jalan Baru Islam (terjemahan), (Bandung: Mizan, 1995), terutama dalam Pendahuluan.
[42]Lihat dalam Shireen T Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism: Unity and Diversity, (Bloominton: Indianapolis University, 1988).
[43] Ibid.
[44] John J. Donohue, dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 39-42
[45]Lihat dalam Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997)
[46]Ibid., hal. 158
[47]Shireen T. Hunter, The Politics ..., hlm. 10-11