A. Pendahuluan
Tidak bisa dipungkiri bahwa mayoritas orang di dunia ini berpandangan dengan hadirnya kemajuan teknologi modern, telah menghantarkan manusia pada pola hidup yang serba mudah. Namun demikian, seiring dengan kemajuan perkembangan industri yang banyak menopang laju modernitas tersebut ternyata telah membawa manusia pada keterasingan. Bahkan keterasingan tersebut dalam kemajuan teknologi sudah dimulai ketika manusia berorientasi pada teknologi itu sendiri. Keterasingan manusia dikaitkan dengan proses industrialisasi yang semakin menempatkan harkat manusia yang semakin tidak dihargai. Manusia lebih dipandang sebagai obyek, bukan sebagai subyek. Kerja bukan dilihat sebagai ekspresi kemanusiaan tapi justru diubah menjadi komoditas kapitalistik belaka. Maka apa jadinya apabila kemoderenan, yang notabene merupakan arah dari segala pembangunan dalam kehidupan manusia tersebut ternyata bahkan menghantarkan kehidupan manusia pada keterpurukan?
Dari kepincangan-kepincangan tersebut, maka diperlukan sebuah sarana untuk menjadi pisau analisa untuk bisa mengkritisi dan melihat secara arif kemajuan demi kemajuan yang telah dicapai manusia. Manusia boleh memanfaatkan kemajuan kehidupan modern, tapi manusia tetap harus menjadi subjek dalam setiap proses kemajuan yang ada. Sejarah ilmu pengetahuan pada umumnya, dan filsafat pada khususnya, mencatat bahwa Teori Kritis yang berbasis dari para intelektual yang tergabung dalam kelompok mazhab Frankfurt[1] telah memberikan kontribusi yang cukup memadai dalam melihat dan memahami modernitas manusia.
Kehadiran Theodor W. Adorno bersama kawan-kawan, yang diantaranya: Max Horkheimer, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas dan lain-lain, yang tergabung dalam kelompok mazhab Frankfurt tersebut mempunyai pola berpikir yang disebut Eine Kritische Theorie der Gesselschaft (Teori Kritik Masyarakat), atau lebih dikenal dengan “Teori Kritis”. Dalam Teori tersebut intinya adalah bermaksud untuk membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern.
Martin Jay memandang, setidaknya ada empat unsur pemikiran dialektika yang diambil oleh Teori Kritis sebagai dasar pemikirannya. Diantara keempat unsur tersebut, antara lain: 1). Proses dialektika sebagai sebuah totalitas, 2). Realitas dilihat sebagai prinsip working reality, 3). Pikiran dialektis sebagai pikiran yang berperspektif empiris-historis, dan 4). Pikiran dialektis dalam kerangka berpikir praksis dan Teoritis. Ada sebagian pemikir kiri melihat bahwa Sekolah Frankfurt adalah symbol kebangkitan kaum Hegelian Kiri abad ke duapuluh.[2]
Sementara itu menurut salah seorang pemikir yang lain, Raymond Geuss, mengatakan bahwa terdapat tiga tesis yang mencirikan “Teori Kritis” Mazhab Frankfurt, yakni: 1). Teori kritis memiliki titik pijak khusus sebagai pengarah tindakan manusia yang bertujuan untuk mencerahkan agen agar dapat menetapkan kepentingan mereka yang sesunggunya dan dengan demikian secara inheren bersifat emansipatoris, karena hendak membebaskan kesadaran manusia dari rasa frustasi. 2). Teori Kritis memiliki muatan kognitif, dalam arti, Teori kritis merupakan bentuk-bentuk pengetahuan. 3). Teori Kritis secara epistemologis berbeda secara esensial dengan Teori-Teori yang dikembangkan dalam ilmu alamiah, karena Teori ilmu alamiah “mengobjektivasi”, sedangkan Teori kritis bersifat “refektif”. Teori Kritis dengan demikian merupakan suatu Teori refleksif yang memberikan pada agen suatu jenis pengetahuan yang secara inheren mencerahkan dan emansipatoris.[3] Masih ada beberapa pendapat berbeda dari para pemikir lain dalam membagi pemetaan pola pikir Teori Kritis ini, namun demikian semuanya masih dalam koridor yang tidak bertentangan satu sama lain.
Teori yang muncul dari Mazhab Frankfurt, yang salah satu tokoh utamanya yaitu Theodor W. Adorno, tersebut telah memberikan angin segar penuh dengan kebijakan yang kritis atas seluruh fenomena kemodernan, yang menjanjikan tapi kalau tidak hati-hati juga dapat menjerumuskan. Namun demikian, meski sumbangan Teori Kritis begitu menyolok bagi orang modern, tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa Teori Kritis tetap memuat keterbatasan-keterbatasan epistemologis dan metodologis. Untuk memahami lebih jauh mengenai hal ini maka dalam makalah ini akan membahas mengenai hal-hal yang berkaitan, yang diantaranya berusaha menyingkap siapa sebenarnya Theodor W. Adorno? Apa dan bagaimana langkah perjuangan Adorno, dan masihkah perjuangan sosial Adorno bersama kawan-kawannya tersebut harus diteruskan dan disuarakan? Tetapkah energi pemikiran kritis tersebut tetap aktual bagi masyarakat sekarang?
B. Biografi Theodor W. Adorno
Theodor W. Adorno, atau disebut juga Theodor Adorno, mempunyai nama lengkap Theodor Adorno Ludwig Wiesengrund. Dia dilahirkan di kota Frankfurt, Jerman pada 11 September 1903, dan meninggal dunia pada 6 Agustus 1969 pada umur 65 tahun. Adorno adalah seorang yang multi-talented (ahli dalam banyak bidang), disamping terkenal sebagai filsuf, dia juga terkenal sebagai sosiolog, musikolog, dan komponis.[4]
Pada tahun 1918- 1919, (waktu itu ia berusia 15 tahun) Adorno tercatat sebagai murid dari Siegfried Kracauer hingga lulus dari pendidikan di tingkat gymnasium.[5] Setelah itu Adorno melanjutkan studinya di Universitas Frankfurt untuk belajar sosiologi, filsafat dan musik, yang dimulai sejak tahun 1921 hingga selesai pada tahun 1924.[6]
Pada waktu terjadi huru-hara di Jerman, dimana Partai Nazi, yang dipimpin Adolf Hitler berusaha menghabiskan semua bangsa Yahudi yang berada di Jerman dengan cara membantai mereka, maka Adorno, yang notabene keturunan Yahudi dari garis ayahnya, bersama beberapa tokoh mazhab Frankfurt yang lain, diantaranya Max Horkheimer, Herbet Marcuse, dan Erich Fomm, memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat.
Pada tahun 1937, Adorno berkunjung ke New York, dan memutuskan untuk menetap di sana dan berpisah dengan sahabat dekatnya, Benjamin, yang tetap tinggal di Eropa. Sejak saat itu komunikasi Adorno dengan Benjamin, demikian juga dengan teman-teman yang lain, hanya sebatas melalui surat. Adorno mulai memfokuskan diri untuk aktif di sebuah Institut Penelitian Sosial di Columbia University, dan selebihnya perhatiannya dicurahkan sebagai direktur musik pada sebuah proyek radio, yang dipimpin oleh seorang sosiolog Austria, Paulus Lazarsfeld, di Universitas Princeton.[7] Selama di Amerika, Adorno juga rajin menulis, yang menjadikannya terkenal. Adorno bersama para anggota Mazhab Frankfurt yang berada di Amerika menyaksikan secara langsung situasi di Amerika saat itu, dimana budaya media, yang mencakup film, musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya dikontrol oleh korporasi-korporasi besar tanpa ada campur tangan negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yang merupakan ciri masyarakat kapitalis, dan kemudian menjadi fokus studi budaya kritis. Horkheimer dan Adorno lalu mengembangkan diskusi tentang apa yang disebut ”industri kebudayaan” yang merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya dibawah hubungan produksi kapitalis.
Selain tinggal di New York, Adorno juga pernah tinggal di California, dan kembali ke Jerman pada tahun 1949 setelah berlalunya huru-hara di Jerman, yang cukup mencekam bagi bangsa Yahudi. Di Jerman ia mengambil posisi sebagai filosof di bagian departemen filosofi. Disamping itu ia juga sempat menjadi pemimpin intelektual Jerman dan tokoh sentral di Institut Riset sosial yang berdiri tahun 1923 yang sebelumnya di pimpin oleh Max Horkheimer sejak 1930 yang dikenal dengan sebutan Frankfurt School.
Dari sepanjang perjalanan kehidupan Adorno bersama kawan-kawan yang tergabung dalam mazhab Frankfurt, mulai dari pengalaman menerima tekanan Nazi yang diluar batas nilai kemanusiaan, menyaksikan situasi di Amerika Serikat dengan komersialisasi nilai seni dan budaya, dan permasalahan-permasalahan sosial yang diakibatkan oleh arus modernisasi pada saat itu, pada gilirannya banyak mewarnai corak berpikirnya, yang kemudian melahirkan sebuah Teori yang dikenal dengan sebutan "Teori Kritis”.
C. Kiprah Theodor W. Adorno di Dunia Filsafat
Theodor W. Adorno adalah seorang pemikir yang terkenal cemerlang dalam berbagai bidang, baik sebagai sosiolog, musikolog, komponis, dan khususnya sebagai seorang filsuf. Dari kemampuannya yang multi talented tersebut, tentu tidak sedikit kiprah yang telah dilakukan oleh Adorno dalam usaha membangun kehidupan ini. Namun demikian, dalam makalah ini akan memfokuskan pembahasannya hanya pada hal-hal yang bersifat filosofis saja.
Adapun hal-hal yang dinilai terkait dengan pembahasan filosofis sehubungan dengan Adorno ini diantaranya yaitu: 1). mengenai keikutsertaannya dalam Mazhab Frankfurt, 2). sebuah corak pemikirannya yang dikenal dengan Teori Kritis, dan 3). salah satu buku yang ditulisnya bersama Horkheimer “Dialektika Pencerahan”.
1. Mazhab Frankfurt
Mazhab Frankfurt pada awalnya merupakan bagian dari Universitas Frankfurt yang didirikan pada tahun 1923, oleh Felix J. Weil, anak dari seorang pedagang gandum yang kaya raya, dan sarjana dalam bidang poitik.[8] Mazhab ini adalah suatu gerakan pemikiran filosofis yang dikembangkan di Universitas tersebut yang dimulai sejak tahun 1930an. Tokoh penting dalam Mazhab Frankfurt disamping ada Theodor W. Adorno yang lain adalah Horkheimer, Marcuse, dan Habermas. Apabila hanya empat orang tersebut yang dimasukkan, maka gerakan tersebut identik dengan gerakan Teori Kritis. Namun ada pula ahli yang memahami mazhab tersebut lebih dari keempat tokoh tersebut, dan memasukkan Wellmer ke dalamnya.[9]
Tradisi intelektual ini disebut sebagai “mazhab” menurut Axel Honeth, lantaran beberapa tokoh yang terlibat di dalamnya disatukan oleh suatu proyek teoretis.[10] Anggota Mazhab Frankfurt adalah Teoritisi yang mengembangkan analisis tentang perubahan dalam masyarakat kapitalis Barat, yang merupakan kelanjutan dari Teori klasik Marx. Namun, Walaupun kebanyakan dari mereka memiliki sebuah ketertarikan intelektual dengan pemikiran neo-Marxisme dan kritik terhadap budaya (yang di kemudian hari memengaruhi munculnya bidang ilmu Studi Budaya), masing-masing pemikir mengaplikasikan kedua hal ini dengan cara-cara dan terhadap subyek kajian yang berbeda.
Meskipun ada perbedaan diantara para anggota Mazhab Frankfurt, secara umum mereka berpegang pada tiga tesis tentang Ideologiekritik yang sama, yakni: 1). Bahwa kritik radikal atas masyarakat dan kritik atas ideologi yang dominan merupakan dua hal yang tak terpisahkan, dan dengan demikian kritik ideologi meski menjadi bagian integral dari riset sosial dari suatu Teori kritis atas masyarakat. 2). Kritik ideologi tidak hanya merupakan sebentuk “kritisisme moral” yang tidak dapat dikritisi, namun merupakan suatu kiprah kognitif, suatu bentuk pengetahuan dan oleh karenanya dapat dikritisi. 3). Kritik ideologi (dan mestinya semua Teori sosial yang menjadi bagiannya) memiliki struktur kognitif yang secara signifikan berbeda dari ilmu-ilmu alamiah (natural sciences), sehingga kritik ideologi perlu melakukan perubahan atas pandangan epistemologis yang diwarisi dari empirisme tradisional sebagaimana modelnya ditemukan dalam kajian-kajian ilmu kealaman.[11]
Ketertarikan Mazhab Frankfurt terhadap pemikiran Karl Marx disebabkan antara lain oleh ketidakpuasan mereka terhadap penggunaan Teori-Teori Marxisme oleh kebanyakan orang lain, yang mereka anggap merupakan pandangan sempit terhadap pandangan asli Karl Marx. Menurut mereka, pandangan sempit ini tidak mampu memberikan jawaban terhadap situasi mereka pada saat itu di Jerman. Setelah Perang Dunia Pertama dan meningkatnya kekuatan politik Nazi, Jerman yang ada pada saat itu sangatlah berbeda dengan Jerman yang dialami Karl Marx. Sehingga jelaslah bagi para pemikir Mazhab Frankfurt bahwa Marxisme harus dimodifikasi untuk bisa menjawab tantangan zaman.
Namun, meskipun para pemikir Mazhab Frankfurt tersebut mengidentifikasikan diri mereka sendiri sebagai Marxis, dengan standar Marxisme-Leninisme dan determinisme Marxis ortodoks, namun mereka menghianati Marxisme asli dengan berjalan begitu jauh ke Teori estetika, psikoanalisis, Teori komunikasi, dan contoh lain Teori sosial dan budaya borjuis Eropa. Disamping itu juga dicurigai karena kembali kepada Hegel, sehingga seharusnya mundur ke belakang materialisme.[12]
Setelah sekelompok filsuf Mazhab Frankfurt tersebut berusaha keras sedemikian rupa memodifikasi, dengan untuk perbaikan di sana-sini, maka lahirlah dengan yang dinamakan Teori Kritis. Teori ini berusaha meberikan jawaban atas masalah-masalah yang sebelumnya belum terpecahkan. Namun demikian, Teori tersebut bukanlah sebuah jawaban yang final, bahkan dalam Teori tersebut juga mengalami kebuntuan-kebuntuan. Sebagai contoh, secara garis besar, bentuk kritik ideologi dapat dibedakan dalam tiga wujud: sebagai kritik atas dimensi epistemis dari ideologi, sebagai kritik atas dimensi fungsional ideologi, dan sebagai kritik atas sifat genetis ideologi sebagai bentuk kesadaran. Sebagai kritik dalam dimensi epistemis ideologi, yang digugat oleh Mazhab Frankfurt adalah “positivisme” di balik bangunan “empirisme logis” yang membangun ilmu alamiah. Oleh Positivisme dinyatakan bahwa pernyataan yang tidak memuat kandungan kognitif tidak dapat dinyatakan salah atau benar, dan dengan demikian nir-arti (meaningless). Rasionalitas positivisme kemudian dibangun atas dasar pada pernyataan-pernyataan deskriptif tentang fakta, dan dengan demikian menyingkirkan jenis pernyataan normatif dan metafisis dari kategori “rasionalitas”.[13]
Pertanyaan sederhana yang dapat diajukan: Adakah semesta realitas dan pengalaman manusia yang dapat dijadikan pegangan pengambilan keputusan “rasional” hanyalah yang “kognitif” saja? Tidakkah pernyataan-pernyataan preskriptif memiliki “rasionalitas”-nya sendiri? Jika tidak, bagaimana kemudian dapat ditentukan suatu perbuatan itu baik atau buruk? Bagaimana pula dengan pernyataan-pernyataan yang “non kognitif” tentang, misalnya, “keagungan ciptaan Tuhan”? Sungguhkan dalam penalaran logika empiris yang ketat tidak dapat disimpulkan bahwa “alam semesta diciptakan oleh Tuhan”? Yang konsistem dengan “jalan” empirisme logis memang akan sampai, setidaknya, pada academic atheism sebagaimana Bertrand Russell. Sebuah pendirian yang tidak mudah, karena bagi mereka sungguh-sungguh tidak ada satu pernyataan metafisis pun yang dapat dipercaya. Sekalipun Mazhab Frankfurt tidak sampai pada “perumusan positif” atas “epistemologi alternatif”, usaha mereka menunjukkan kelemahan dan keterbatasan “ideologi-epistemis” di balik positivisme jelas telah menyingkap kesadaran baru tentang adanya pluralitas rasionalitas. Kedua, kritik dalam kaitan dengan fungsi ideologi dalam membentuk kesadaran. Dalam konteks fungsional ini, ideologi sebagai suatu “gambaran dunia” memiliki kecenderungan untuk melegitimasi atau memapankan dominasi.[14]
2. Teori kritis
Sekitar pada tahun 1930-an, bersama Max Horkheimer, Theodor W. Adorno telah mempelopori munculnya sebuah Teori, yang kita kenal dengan sebutan Teori Kritis. Teori Kritis ini dimaksudkan sebagai pemaknaan kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis. Yang membedakan antara Teori Kritis dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional sebelumnya adalah bahwa pendekantan teori ini tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Adorno juga keberatan terhadap filsafat sistematis dan meragukan apakah pemikiran yang sebenarnya dapat transparan. Hal ini berasal dari keberatannya terhadap berpikir metodologis. Filsafat sistematis dan pemikiran metodologis, menurutnya memiliki kecenderungan untuk sampai pada kesimpulan yang hanya mengkonfirmasi asumsi yang terkandung dalam premis-premisnya.
Melalui bukunya, Dialektika Penceraha, Adorno dan Horkheimer sebenarnya tidak menolak adanya pencerahan, namun masalahnya adalah bahwa pencerahan yang sesungguhnya belum berhasil menghilangkan mitos. Bahkan pada titik tertentu, Pencerahan sendiri malah menjadi mitos. Ilmu pengetahuan harus bersifat operasional. Sikap tersebut akhirnya diteruskan oleh positivisme dan pragmatisme yang tidak percaya akan kebenaran dalam dirinya sendiri. Kebenaran disebut kebenaran apabila terjadi eksperimentasi. Operasionalisasi ilmu pengetahuan justru menjadi tujuan pada dirinya sendiri.[15] Selain bahwa pencerahan mengalami kegagalan maka kritik yang lain dari Teori Kritis adalah kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca industri adalah kritik bahwa masyarakat mengalami satu dimensi.[16]
Objek sentral dalam Teori kritis Adorno adalah hubungan saling keterpengaruhan antara pertentangan-pertentangan dalam masyarakat sebagai sebuah totalitas dan bentuk kongkrit kehidupan subjek-subjek dalam masyarakat. Teori kritis diorientasikan pada ide tentang masyarakat sebagai subjek, dengan individu sebagai pusat. Sebuah Teori menjadi ”kritis” dengan menegaskan ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yang dihasilkan oleh kondisi sosial dibawah ekonomi kapitalis.
Sebenarnya, di dunia filsafat, Teori Kritis ini bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Apa bila kita tengok lagi ke belakang sebelum Teori ini di suarakan oleh Horkheimer dan Adorno tersebut, telah menjadi tradisi di dunia filsafat yang ada di Jerman. Teori Kritis muncul dan mempengaruhi konsep rasionalitas dan tindakan masyarakat Jerman pasca industri. Teori Kritis ini bermula pada Filsafat Kritis yang yang dipelopori oleh Immanuel Kant. Kant berusaha menganalisa syarat-syarat, serta batas-batas kemampuan rasional dalam dimensi-dimensinya yang murni dan praktis-etis. Dengan demikian maka kritik ala Kant ini dijalankan menggunakan prinsip-prinsip rasio yang menurutnya secara transenden dan immanen.[17]
Pada dasarnya Teori Kritis adalah suatu gaya berpikir yang merentang ke berbagai bidang. Maka dari itu sangatlah sulit untuk menemukan satu kesatuan utuh di dalamnya. Namun menurut Honneth ada satu kesamaan yang mendasari seluruh pemikir di dalam ranah Teori kritis, yakni sikap negatifnya pada realitas faktual. Artinya mayoritas pemikir Teori kritis bersikap negatif dan mencurigai terhadap semua situasi sosial yang terjadi, bahkan yang tampak paling positif sekalipun. Honneth menyebut ini sebagai negativitas sosial (social negativism). Dengan kata lain, setiap kondisi sosial tidak pernah merupakan suatu situasi yang positif, karena selalu menyembunyikan ketidakadilan sosial. Di tangan Honneth Teori kritis tidak lagi hanya berfokus soal keadilan sosial, tetapi juga pada soal keadilan kultural (terkait dengan konsep hidup yang baik), yakni iklim yang menghambar perkembangan kultural suatu masyarakat.[18]
Secara umum, Teori Kritis yang di pelopori Horkheimer dan Adorno ini banyak menjadikan filsafat Hegel dan Freud sebagai dasar pemikiran mereka. Di dalam tradisi berpikir semacam itu, akal budi (reason) masih menjadi titik tolak untuk membaca dan memahami gerak sejarah. Akal budi dianggap sebagai kemampuan universal manusia untuk bersikap kritis terhadap dinamika masyarakat. Akan tetapi keyakinan besar pada kemampuan akal budi tersebut tampak tidak lagi relevan sekarang ini. Banyak filsuf dan intelektual pada umumnya sekarang ini sudah mulai sadar akan pluralitas budaya, sekaligus pluralitas konsep akal budi itu sendiri. Di dalam wacana postmodernisme, akal budi dianggap merupakan salah satu narasi besar yang mengklaim dirinya universal. Padahal sebenarnya kemampuan dan isi dari akal budi sangatlah tergantung pada kultur yang sifatnya lokal dan partikular.[19]
Dapatlah dikatakan bahwa secara umum pada zaman sekarang ini para filsuf telah melangkah lebih maju, bahwa masalah sosial yang perlu dikaji bukan sekedar membuka struktur sosial yang tidak adil, melainkan lebih memahami konsep keadilan yang memang seringkali sifatnya lokal dan partikular. Artinya bahwa dalam menilai sesuatu itu telah berlaku keadilan atau tidak, bukanlah sesuatu yang selalu bersifat universal, melainkan memiliki aspek lokal partikular yang harus dipahami terlebih dahulu sesuai dengan situasi dan kondisi kultur, budaya, dan masih banyak hal-hal lain yang bersifat lokal. Maka jelas, bahwa jika proses pencerahan dan pembebasan hendak dilakukan, terlebih dahulu kita harus memahami ketidakadilan lokal yang terjadi, dan kemudian berusaha memberikan pengertian pada orang-orang yang tertindas tersebut untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
3. Dialektika Pencerahan.
“Dialektika Pencerahan” adalah judul sebuah buku, karya terkenal dari Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno yang ditulis bersama pada tahun 1944. Buku ini aslinya ditulis dalam bahasa Jerman dengan judul “Dialektik der Aufklarung” dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai “Dialectic of Enlightenment”. Secara umum isi buku tersebut bermuatan kritik terhadap modernitas, yang dipandang oleh Adorno dan Horkheimer, sebagai sejarah dominasi atau penguasaan. Pemikiran mereka secara umum senada dengan kritik Karl Marx, adapun yang membedakan adalah bahwa Adorno dan Horkheimer tidak menjelaskan sejarah penguasaan dari hubungan produksi, melainkan dari dorongan psikologis manusia yang berkeinginan kuat untuk menguasai pihak lain. Melalui Dialektika Pencerahan tersebut Adorno dan Horkheimer, lebih jauh, mengkritik kesadaran yang ada pada masyarakat itu sendiri, dengan kesadaran modern, yang dengannya bahwa rasio sebagai alat utama dominasi. Lebih lanjut, Adorno dan Horkheimer juga beranggapan bahwa pencerahan yang dipandang sebagai kemajuan dari cara pandang mitologis, sebenarnya telah menjadi mitos itu sendiri. Lebih jauh, mitos itu pada gilirannya juga menghasilkan penindasan dan penguasaan manusia yang satu terhadap yang lainnya. Kenyataan terjadinya penindasan tersebut, antara lain sebagaimana yang dialami Adorno sendiri, yaitu dengan munculnya ideologi fasisme di Jerman, disamping juga kepincangan-kepincangan yang diakibatkan dari kemajuan teknologi yang telah memanupulasi manusia, pada umumnya.[20]
Dalam karyanya tersebut, Adorno berusaha memberikan analisis konseptual tentang bagaimana pencerahan yang pada mulanya ditujukan untuk mengamankan kebebasan dari ketakutan dan otoritas manusia, berubah menjadi beberapa bentuk dominasi politik, sosial, dan budaya, dimana manusia kehilangan individualitas dan masyarakat kehilangan makna kemanusiaan. Analisis ini diberikan dengan penjelasan tentang motif konseptual dari proses rasionalisasi masyarakat dalam konteks Weberian, dimana dominasi kapitalis merupakan bahaya terbesar yang muncul darinya.
Objek sentral dalam Teori kritis Adorno adalah hubungan saling keterpengaruhan antara pertentangan-pertentangan dalam masyarakat sebagai sebuah totalitas dan bentuk konkrit kehidupan subjek-subjek dalam masyarakat. Teori kritis diorientasikan pada ide tentang masyarakat sebagai subjek, dengan individu sebagai pusat. Sebuah Teori menjadi ”kritis” dengan ketegasan terhadap ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yang dihasilkan oleh kondisi sosial dibawah ekonomi kapitalis.
Namun demikian, Teori Adorno dan Horkeimer tersebut ditentang oleh Jurgen Habermas, yang notabene sebagai asisten dari Adorno sendiri, disamping juga sebagai salah satu dari tokoh penting dari kelompok Mazhab Frankfurt. Habermas mengatakan bahwa Teori tersebut sebagai sebuah dialetika negatif, dan merupakan proyek filsafat analog dengan dekonstruksi Derrida. Dialektika negatif dan dekonstruksi merupakan dua jalan keluar untuk persoalan yang sama, yaitu ketika rasionalitas Pencerahan tak mungkin dipertahankan. Rasionalitas pencerahan merupakan muasal dari totalitarisme filsafat dan politik abad ke duapuluh dan tak ada jalan keluar darinya kecuali dengan meninggalkannya.[21]
Adorno dan Horkeimer dinilai telah terjebak dan tidak dapat keluar dari dilema rasionalitas Pencerahan ini. Keduanya, bagi habermas, berikhtiar mengungkapkan dialektika pencerahan dengan tanpa merevitalisasi rasio kritis. Adorno dan Horkheimer mengalami keputus asaan filosofis ketika melihat kenyataan kedigdayaan rasio kritis telah lama ditelan dominasi karena perluasan rasio instrumental. Pertanyaan yang patut diajukan kemudian, bila kita semua telah kehilangan kapasitas rasio kritis, lalu bagaimana kita dapat mengungkapkan problem kehilangan rasio kritis?[22]
D. Penutup
Dari serangkaian pembahasan seluk beluk Theodor W. Adorno ini, untuk lebih ringkasnya penulis akan merangkum ke dalam beberapa simpulan dan analisa singkat, sebagai berikut:
1. Simpulan
Theodor W. Adorno dilahirkan di kota Frankfurt, Jerman pada 11 September 1903. Disamping sebagai seorang filsuf, sebenarnya dia juga seorang sosiolog, musikolog, dan komponis. Pada waktu terjadi huru-hara di Jerman yang dimotori oleh Adolf Hitler bersama Partai Nazi, memaksa Adorno, sebagai keturunan Yahudi, bersama beberapa tokoh Mazhab Frankfurt keturunan Yahudi yang lain untuk menyelamatkan diri dengan cara pindah ke Amerika Serikat. Mereka baru kembali ke Jerman pada waktu situasi di Jerman telah aman.
Adorno adalah salah satu dari tokoh penting dalam Mazhab Frankfurt. Sejurus dengan nafas dalam Mazhab Frankfurt, yang terkenal dengan “Teori Kritis”nya, dia bersama Max Horkheimer menulis buku “Dialektika Pencerahan” yang cukup spektakuler. Isi buku tersebut bermuatan kritik terhadap modernitas, yang dipandang oleh Adorno sebagai kendaraan bagi dominasi dan penguasaan. Disamping itu, Adorno juga mengkritik kesadaran yang ada pada masyarakat itu sendiri yang terbelenggu dengan pemahaman tentang kemodernan, yang mengakibatkan harkat kemanusiaan terpuruk dalam posisi sebagai obyek bukan sebagai subyek. Keterpurukan tersebut adalah bahwa manusia kehilangan individualitasnya, demikian juga dengan masyarakat kehilangan makna kemanusiaan kemasyarakatannya.
Melalui Teori Kritisnya, perjuangan Adorno bersama kawan-kawan telah memberikan angin segar, dengan kebijakan yang kritis atas seluruh fenomena kemodernan. Salah satu maksud praktis dari Teori Kritis adalah membantu proses refleksi diri masyarakat atas proses pembentukan diri masyarakat itu. Proses rasionalitas adalah proses menuju otonomi dan kedewasaan. Teori Kritis mencoba untuk membuka dimensi rasionalitas dengan rasio fungsionalis yang tercermin dalam tindak komunikasi. Teori Kritis mengkritisi modernitas ketika mereka mau mengabsolutkan rasio instrumental dalam bentuk kekuasaan dan kemakmuran ekonomis.
Namun demikian, Teori Kritis tersebut tetap saja memuat keterbatasan-keterbatasan. Teori ini mengalami kebuntuan Teoritis atas seluruh proses rasionalitas. Bahkan Jurgen Habermas, salah satu dari tokoh penting kelompok Mazhab Frankfurt yang lain, menilai Teori Kritis sebagai sebuah dialetika negatif, yang mudah mencurigai atas segala kemajuan. Memang disadari bahwa dalam tindak komunikatif ada bentuk rasionalitas lain yang perlu dibangun, yaitu rasionalitas praktis moral. Tapi hal itu tidak pernah bisa berkembang. Dalam hal ini proyek emansipatoris mengalami hambatan yang luar biasa dalam hal tersebut. Sejauh mana rasionalitas praktis-moral mendapat nilai untuk dijadikan konsensus sosial yang terbuka bagi masyarakat.
2. Analisa
Dari perjalanan dan perjuangan Theodor W. Adorno bersama kawan-kawan, dengan Tori Kritisnya telah membawa pencerahan luar biasa untuk menjawab permasalahan kepincangan-kepincangan yang diakibatkan oleh arus modernisasi di Jerman dan negara-negara barat lain pada masa itu. Namun demikian, penulis menilai bahwa Teori tersebut hanya hebat pada zamannya. Adapun pada zaman sekarang ini, secara umum para filsuf telah melangkah lebih maju. Masalah sosial yang dikaji para pemikir saat ini bukan sekedar membuka struktur sosial yang tidak adil, melainkan lebih memahami konsep keadilan yang sering bersifat lokal dan partikular. Dengan demikian konsep dan nilai keadilan tentunya juga harus sesuai, yaitu tidak mengindahkan pada sifat lokal dan partikular tersebut.
Apabila diperhatikan dengan seksama di dalam dunia filsafat, sebenarnya tidak terdapat pemikiran maupun Teori yang benar-benar autentik baru yang dihasilkan oleh Adorno secara pribadi. Bahkan Teori Kritik yang di pelopori oleh Adorno bersama Max Horkheimer, hanyalah merupakan penerus dari faham Marxis yang diubah di beberapa sisi, disesuaikan dengan keadaan permasalahan-permasalahan di negara-negara barat, khususnya Jerman pada masa itu. Disamping itu, corak pemikiran yang ada dalam Teori Kritik ternyata tidak lebih hanya terfokus untuk mengkritisi permasalahan dan kepincangan saja, tanpa menawarkan sebuah jalan keluar yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Adorno, Theodor W. dkk., The Complete Correspondence 1928–1940, (Cambridge England: Polity Press, 1999).
Agger, Ben, Critical Social Theories: An Introduction, terj. Nurhadi, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003).
Bertens, K., Filsafat Barat Kontempore:r Inggris-Jerman, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002).
Geuss, Raymond, The Idea of A Critical Theory, Habermas & the Frankfurt School, (Cambridge University Press: Cambridge, 1989).
Giddens, A.,& Turner, J., ed., Social Theory Today, (California: Stanford University Press, 1987).
Honneth, Axel, Cambridge Companion to Critical Theory, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004).
Horkheimer, Max & Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, terj. Ahmad Sahidah, Dialektika Penceraha, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002).
Jager, Lorenz, Adorno: A Political Biography, (Munic: Deutsche Verlags-Anstalt GmbH, 2003).
Jay, Martin, The Dialectical Imagination, (London: Heinemann, 1973).
Lechte, John, 50 filsuf kontemporer: dari strukturalisme sampai postmodernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2001).
Marcuse, One Dimensional Man: Studies in The Ideology of Advanced Industrial Society, (London: Routledge, 1964).
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1981).
Sutrisno, Mudji dkk., Teks-teks Kunci Estetika: Filsafat Seni, (Yogyakarta: Galangpress Group, 2005).
Tjahjadi, Simon Petrus L., Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead. (Yogyakarta: Kanisius, 2007).
[1] Istilah “Mazhab Frankfurt” diberikan kepada sekelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Sekolah Frankfurt (Institusi Penelitian Sosial di Frankfrurt, Jerman), dan pemikir-pemikir lainnya yang dipengaruhi oleh mereka. Sebagian diantara filsuf terkenal yang tergabung sebagai anggota Mazhab Frankfurt ini antara lain Theodor Adorno, Walter Benjamin dan Jurgen Habermas. Sebenarnya, para pemikir ini tidak pernah mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok atau ‘mazhab’. Penamaan ini muncul secara retrospektif.
[2] Martin Jay, The Dialectical Imagination, (London: Heinemann, 1973), 42.
[3] Raymond Geuss, The Idea of A Critical Theory, Habermas & the Frankfurt School, (Cambridge University Press: Cambridge, 1989), 1-2.
[4] Lorenz Jager, Adorno: A Political Biography, (Munic: Deutsche Verlags-Anstalt GmbH, 2003)
[5] John Lechte, 50 filsuf kontemporer: dari strukturalisme sampai postmodernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2001)
[6] Ibid.
[7] Theodor W. Adorno dkk., The Complete Correspondence 1928–1940, (Cambridge England: Polity Press, 1999)
[8] K. Bertens, Filsafat Barat Kontempore:r Inggris-Jerman, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), 194.
[9] Raymond Geuss, The Idea...1
[10] Giddens, A.,& Turner, J., ed., Social Theory Today, (California: Stanford University Press, 1987), 347.
[11] Raymond Geuss, The Idea...26
[12] Ben Agger, Critical Social Theories: An Introduction, terj. Nurhadi, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), 157-158.
[13] Raymond Geuss, The Idea..., 26-28.
[14] Ibid, 31.
[15] Max Horkheimer & Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, terj. Ahmad Sahidah, Dialektika Penceraha, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002)
[16] Marcuse, One Dimensional Man: Studies in The Ideology of Advanced Industrial Society, (London: Routledge, 1964)
[17] Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1981), 146- 147.
[18] Axel Honneth, Cambridge Companion to Critical Theory, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 338.
[19] Ibid., 337.
[20] Simon Petrus L. Tjahjadi, Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead. (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 102-114.
[21] Mudji Sutrisno dkk., Teks-teks Kunci Estetika: Filsafat Seni, (Yogyakarta: Galangpress Group, 2005), 152.
[22] Ibid.
Tidak bisa dipungkiri bahwa mayoritas orang di dunia ini berpandangan dengan hadirnya kemajuan teknologi modern, telah menghantarkan manusia pada pola hidup yang serba mudah. Namun demikian, seiring dengan kemajuan perkembangan industri yang banyak menopang laju modernitas tersebut ternyata telah membawa manusia pada keterasingan. Bahkan keterasingan tersebut dalam kemajuan teknologi sudah dimulai ketika manusia berorientasi pada teknologi itu sendiri. Keterasingan manusia dikaitkan dengan proses industrialisasi yang semakin menempatkan harkat manusia yang semakin tidak dihargai. Manusia lebih dipandang sebagai obyek, bukan sebagai subyek. Kerja bukan dilihat sebagai ekspresi kemanusiaan tapi justru diubah menjadi komoditas kapitalistik belaka. Maka apa jadinya apabila kemoderenan, yang notabene merupakan arah dari segala pembangunan dalam kehidupan manusia tersebut ternyata bahkan menghantarkan kehidupan manusia pada keterpurukan?
Dari kepincangan-kepincangan tersebut, maka diperlukan sebuah sarana untuk menjadi pisau analisa untuk bisa mengkritisi dan melihat secara arif kemajuan demi kemajuan yang telah dicapai manusia. Manusia boleh memanfaatkan kemajuan kehidupan modern, tapi manusia tetap harus menjadi subjek dalam setiap proses kemajuan yang ada. Sejarah ilmu pengetahuan pada umumnya, dan filsafat pada khususnya, mencatat bahwa Teori Kritis yang berbasis dari para intelektual yang tergabung dalam kelompok mazhab Frankfurt[1] telah memberikan kontribusi yang cukup memadai dalam melihat dan memahami modernitas manusia.
Kehadiran Theodor W. Adorno bersama kawan-kawan, yang diantaranya: Max Horkheimer, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas dan lain-lain, yang tergabung dalam kelompok mazhab Frankfurt tersebut mempunyai pola berpikir yang disebut Eine Kritische Theorie der Gesselschaft (Teori Kritik Masyarakat), atau lebih dikenal dengan “Teori Kritis”. Dalam Teori tersebut intinya adalah bermaksud untuk membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern.
Martin Jay memandang, setidaknya ada empat unsur pemikiran dialektika yang diambil oleh Teori Kritis sebagai dasar pemikirannya. Diantara keempat unsur tersebut, antara lain: 1). Proses dialektika sebagai sebuah totalitas, 2). Realitas dilihat sebagai prinsip working reality, 3). Pikiran dialektis sebagai pikiran yang berperspektif empiris-historis, dan 4). Pikiran dialektis dalam kerangka berpikir praksis dan Teoritis. Ada sebagian pemikir kiri melihat bahwa Sekolah Frankfurt adalah symbol kebangkitan kaum Hegelian Kiri abad ke duapuluh.[2]
Sementara itu menurut salah seorang pemikir yang lain, Raymond Geuss, mengatakan bahwa terdapat tiga tesis yang mencirikan “Teori Kritis” Mazhab Frankfurt, yakni: 1). Teori kritis memiliki titik pijak khusus sebagai pengarah tindakan manusia yang bertujuan untuk mencerahkan agen agar dapat menetapkan kepentingan mereka yang sesunggunya dan dengan demikian secara inheren bersifat emansipatoris, karena hendak membebaskan kesadaran manusia dari rasa frustasi. 2). Teori Kritis memiliki muatan kognitif, dalam arti, Teori kritis merupakan bentuk-bentuk pengetahuan. 3). Teori Kritis secara epistemologis berbeda secara esensial dengan Teori-Teori yang dikembangkan dalam ilmu alamiah, karena Teori ilmu alamiah “mengobjektivasi”, sedangkan Teori kritis bersifat “refektif”. Teori Kritis dengan demikian merupakan suatu Teori refleksif yang memberikan pada agen suatu jenis pengetahuan yang secara inheren mencerahkan dan emansipatoris.[3] Masih ada beberapa pendapat berbeda dari para pemikir lain dalam membagi pemetaan pola pikir Teori Kritis ini, namun demikian semuanya masih dalam koridor yang tidak bertentangan satu sama lain.
Teori yang muncul dari Mazhab Frankfurt, yang salah satu tokoh utamanya yaitu Theodor W. Adorno, tersebut telah memberikan angin segar penuh dengan kebijakan yang kritis atas seluruh fenomena kemodernan, yang menjanjikan tapi kalau tidak hati-hati juga dapat menjerumuskan. Namun demikian, meski sumbangan Teori Kritis begitu menyolok bagi orang modern, tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa Teori Kritis tetap memuat keterbatasan-keterbatasan epistemologis dan metodologis. Untuk memahami lebih jauh mengenai hal ini maka dalam makalah ini akan membahas mengenai hal-hal yang berkaitan, yang diantaranya berusaha menyingkap siapa sebenarnya Theodor W. Adorno? Apa dan bagaimana langkah perjuangan Adorno, dan masihkah perjuangan sosial Adorno bersama kawan-kawannya tersebut harus diteruskan dan disuarakan? Tetapkah energi pemikiran kritis tersebut tetap aktual bagi masyarakat sekarang?
B. Biografi Theodor W. Adorno
Theodor W. Adorno, atau disebut juga Theodor Adorno, mempunyai nama lengkap Theodor Adorno Ludwig Wiesengrund. Dia dilahirkan di kota Frankfurt, Jerman pada 11 September 1903, dan meninggal dunia pada 6 Agustus 1969 pada umur 65 tahun. Adorno adalah seorang yang multi-talented (ahli dalam banyak bidang), disamping terkenal sebagai filsuf, dia juga terkenal sebagai sosiolog, musikolog, dan komponis.[4]
Pada tahun 1918- 1919, (waktu itu ia berusia 15 tahun) Adorno tercatat sebagai murid dari Siegfried Kracauer hingga lulus dari pendidikan di tingkat gymnasium.[5] Setelah itu Adorno melanjutkan studinya di Universitas Frankfurt untuk belajar sosiologi, filsafat dan musik, yang dimulai sejak tahun 1921 hingga selesai pada tahun 1924.[6]
Pada waktu terjadi huru-hara di Jerman, dimana Partai Nazi, yang dipimpin Adolf Hitler berusaha menghabiskan semua bangsa Yahudi yang berada di Jerman dengan cara membantai mereka, maka Adorno, yang notabene keturunan Yahudi dari garis ayahnya, bersama beberapa tokoh mazhab Frankfurt yang lain, diantaranya Max Horkheimer, Herbet Marcuse, dan Erich Fomm, memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat.
Pada tahun 1937, Adorno berkunjung ke New York, dan memutuskan untuk menetap di sana dan berpisah dengan sahabat dekatnya, Benjamin, yang tetap tinggal di Eropa. Sejak saat itu komunikasi Adorno dengan Benjamin, demikian juga dengan teman-teman yang lain, hanya sebatas melalui surat. Adorno mulai memfokuskan diri untuk aktif di sebuah Institut Penelitian Sosial di Columbia University, dan selebihnya perhatiannya dicurahkan sebagai direktur musik pada sebuah proyek radio, yang dipimpin oleh seorang sosiolog Austria, Paulus Lazarsfeld, di Universitas Princeton.[7] Selama di Amerika, Adorno juga rajin menulis, yang menjadikannya terkenal. Adorno bersama para anggota Mazhab Frankfurt yang berada di Amerika menyaksikan secara langsung situasi di Amerika saat itu, dimana budaya media, yang mencakup film, musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya dikontrol oleh korporasi-korporasi besar tanpa ada campur tangan negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yang merupakan ciri masyarakat kapitalis, dan kemudian menjadi fokus studi budaya kritis. Horkheimer dan Adorno lalu mengembangkan diskusi tentang apa yang disebut ”industri kebudayaan” yang merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya dibawah hubungan produksi kapitalis.
Selain tinggal di New York, Adorno juga pernah tinggal di California, dan kembali ke Jerman pada tahun 1949 setelah berlalunya huru-hara di Jerman, yang cukup mencekam bagi bangsa Yahudi. Di Jerman ia mengambil posisi sebagai filosof di bagian departemen filosofi. Disamping itu ia juga sempat menjadi pemimpin intelektual Jerman dan tokoh sentral di Institut Riset sosial yang berdiri tahun 1923 yang sebelumnya di pimpin oleh Max Horkheimer sejak 1930 yang dikenal dengan sebutan Frankfurt School.
Dari sepanjang perjalanan kehidupan Adorno bersama kawan-kawan yang tergabung dalam mazhab Frankfurt, mulai dari pengalaman menerima tekanan Nazi yang diluar batas nilai kemanusiaan, menyaksikan situasi di Amerika Serikat dengan komersialisasi nilai seni dan budaya, dan permasalahan-permasalahan sosial yang diakibatkan oleh arus modernisasi pada saat itu, pada gilirannya banyak mewarnai corak berpikirnya, yang kemudian melahirkan sebuah Teori yang dikenal dengan sebutan "Teori Kritis”.
C. Kiprah Theodor W. Adorno di Dunia Filsafat
Theodor W. Adorno adalah seorang pemikir yang terkenal cemerlang dalam berbagai bidang, baik sebagai sosiolog, musikolog, komponis, dan khususnya sebagai seorang filsuf. Dari kemampuannya yang multi talented tersebut, tentu tidak sedikit kiprah yang telah dilakukan oleh Adorno dalam usaha membangun kehidupan ini. Namun demikian, dalam makalah ini akan memfokuskan pembahasannya hanya pada hal-hal yang bersifat filosofis saja.
Adapun hal-hal yang dinilai terkait dengan pembahasan filosofis sehubungan dengan Adorno ini diantaranya yaitu: 1). mengenai keikutsertaannya dalam Mazhab Frankfurt, 2). sebuah corak pemikirannya yang dikenal dengan Teori Kritis, dan 3). salah satu buku yang ditulisnya bersama Horkheimer “Dialektika Pencerahan”.
1. Mazhab Frankfurt
Mazhab Frankfurt pada awalnya merupakan bagian dari Universitas Frankfurt yang didirikan pada tahun 1923, oleh Felix J. Weil, anak dari seorang pedagang gandum yang kaya raya, dan sarjana dalam bidang poitik.[8] Mazhab ini adalah suatu gerakan pemikiran filosofis yang dikembangkan di Universitas tersebut yang dimulai sejak tahun 1930an. Tokoh penting dalam Mazhab Frankfurt disamping ada Theodor W. Adorno yang lain adalah Horkheimer, Marcuse, dan Habermas. Apabila hanya empat orang tersebut yang dimasukkan, maka gerakan tersebut identik dengan gerakan Teori Kritis. Namun ada pula ahli yang memahami mazhab tersebut lebih dari keempat tokoh tersebut, dan memasukkan Wellmer ke dalamnya.[9]
Tradisi intelektual ini disebut sebagai “mazhab” menurut Axel Honeth, lantaran beberapa tokoh yang terlibat di dalamnya disatukan oleh suatu proyek teoretis.[10] Anggota Mazhab Frankfurt adalah Teoritisi yang mengembangkan analisis tentang perubahan dalam masyarakat kapitalis Barat, yang merupakan kelanjutan dari Teori klasik Marx. Namun, Walaupun kebanyakan dari mereka memiliki sebuah ketertarikan intelektual dengan pemikiran neo-Marxisme dan kritik terhadap budaya (yang di kemudian hari memengaruhi munculnya bidang ilmu Studi Budaya), masing-masing pemikir mengaplikasikan kedua hal ini dengan cara-cara dan terhadap subyek kajian yang berbeda.
Meskipun ada perbedaan diantara para anggota Mazhab Frankfurt, secara umum mereka berpegang pada tiga tesis tentang Ideologiekritik yang sama, yakni: 1). Bahwa kritik radikal atas masyarakat dan kritik atas ideologi yang dominan merupakan dua hal yang tak terpisahkan, dan dengan demikian kritik ideologi meski menjadi bagian integral dari riset sosial dari suatu Teori kritis atas masyarakat. 2). Kritik ideologi tidak hanya merupakan sebentuk “kritisisme moral” yang tidak dapat dikritisi, namun merupakan suatu kiprah kognitif, suatu bentuk pengetahuan dan oleh karenanya dapat dikritisi. 3). Kritik ideologi (dan mestinya semua Teori sosial yang menjadi bagiannya) memiliki struktur kognitif yang secara signifikan berbeda dari ilmu-ilmu alamiah (natural sciences), sehingga kritik ideologi perlu melakukan perubahan atas pandangan epistemologis yang diwarisi dari empirisme tradisional sebagaimana modelnya ditemukan dalam kajian-kajian ilmu kealaman.[11]
Ketertarikan Mazhab Frankfurt terhadap pemikiran Karl Marx disebabkan antara lain oleh ketidakpuasan mereka terhadap penggunaan Teori-Teori Marxisme oleh kebanyakan orang lain, yang mereka anggap merupakan pandangan sempit terhadap pandangan asli Karl Marx. Menurut mereka, pandangan sempit ini tidak mampu memberikan jawaban terhadap situasi mereka pada saat itu di Jerman. Setelah Perang Dunia Pertama dan meningkatnya kekuatan politik Nazi, Jerman yang ada pada saat itu sangatlah berbeda dengan Jerman yang dialami Karl Marx. Sehingga jelaslah bagi para pemikir Mazhab Frankfurt bahwa Marxisme harus dimodifikasi untuk bisa menjawab tantangan zaman.
Namun, meskipun para pemikir Mazhab Frankfurt tersebut mengidentifikasikan diri mereka sendiri sebagai Marxis, dengan standar Marxisme-Leninisme dan determinisme Marxis ortodoks, namun mereka menghianati Marxisme asli dengan berjalan begitu jauh ke Teori estetika, psikoanalisis, Teori komunikasi, dan contoh lain Teori sosial dan budaya borjuis Eropa. Disamping itu juga dicurigai karena kembali kepada Hegel, sehingga seharusnya mundur ke belakang materialisme.[12]
Setelah sekelompok filsuf Mazhab Frankfurt tersebut berusaha keras sedemikian rupa memodifikasi, dengan untuk perbaikan di sana-sini, maka lahirlah dengan yang dinamakan Teori Kritis. Teori ini berusaha meberikan jawaban atas masalah-masalah yang sebelumnya belum terpecahkan. Namun demikian, Teori tersebut bukanlah sebuah jawaban yang final, bahkan dalam Teori tersebut juga mengalami kebuntuan-kebuntuan. Sebagai contoh, secara garis besar, bentuk kritik ideologi dapat dibedakan dalam tiga wujud: sebagai kritik atas dimensi epistemis dari ideologi, sebagai kritik atas dimensi fungsional ideologi, dan sebagai kritik atas sifat genetis ideologi sebagai bentuk kesadaran. Sebagai kritik dalam dimensi epistemis ideologi, yang digugat oleh Mazhab Frankfurt adalah “positivisme” di balik bangunan “empirisme logis” yang membangun ilmu alamiah. Oleh Positivisme dinyatakan bahwa pernyataan yang tidak memuat kandungan kognitif tidak dapat dinyatakan salah atau benar, dan dengan demikian nir-arti (meaningless). Rasionalitas positivisme kemudian dibangun atas dasar pada pernyataan-pernyataan deskriptif tentang fakta, dan dengan demikian menyingkirkan jenis pernyataan normatif dan metafisis dari kategori “rasionalitas”.[13]
Pertanyaan sederhana yang dapat diajukan: Adakah semesta realitas dan pengalaman manusia yang dapat dijadikan pegangan pengambilan keputusan “rasional” hanyalah yang “kognitif” saja? Tidakkah pernyataan-pernyataan preskriptif memiliki “rasionalitas”-nya sendiri? Jika tidak, bagaimana kemudian dapat ditentukan suatu perbuatan itu baik atau buruk? Bagaimana pula dengan pernyataan-pernyataan yang “non kognitif” tentang, misalnya, “keagungan ciptaan Tuhan”? Sungguhkan dalam penalaran logika empiris yang ketat tidak dapat disimpulkan bahwa “alam semesta diciptakan oleh Tuhan”? Yang konsistem dengan “jalan” empirisme logis memang akan sampai, setidaknya, pada academic atheism sebagaimana Bertrand Russell. Sebuah pendirian yang tidak mudah, karena bagi mereka sungguh-sungguh tidak ada satu pernyataan metafisis pun yang dapat dipercaya. Sekalipun Mazhab Frankfurt tidak sampai pada “perumusan positif” atas “epistemologi alternatif”, usaha mereka menunjukkan kelemahan dan keterbatasan “ideologi-epistemis” di balik positivisme jelas telah menyingkap kesadaran baru tentang adanya pluralitas rasionalitas. Kedua, kritik dalam kaitan dengan fungsi ideologi dalam membentuk kesadaran. Dalam konteks fungsional ini, ideologi sebagai suatu “gambaran dunia” memiliki kecenderungan untuk melegitimasi atau memapankan dominasi.[14]
2. Teori kritis
Sekitar pada tahun 1930-an, bersama Max Horkheimer, Theodor W. Adorno telah mempelopori munculnya sebuah Teori, yang kita kenal dengan sebutan Teori Kritis. Teori Kritis ini dimaksudkan sebagai pemaknaan kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis. Yang membedakan antara Teori Kritis dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional sebelumnya adalah bahwa pendekantan teori ini tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Adorno juga keberatan terhadap filsafat sistematis dan meragukan apakah pemikiran yang sebenarnya dapat transparan. Hal ini berasal dari keberatannya terhadap berpikir metodologis. Filsafat sistematis dan pemikiran metodologis, menurutnya memiliki kecenderungan untuk sampai pada kesimpulan yang hanya mengkonfirmasi asumsi yang terkandung dalam premis-premisnya.
Melalui bukunya, Dialektika Penceraha, Adorno dan Horkheimer sebenarnya tidak menolak adanya pencerahan, namun masalahnya adalah bahwa pencerahan yang sesungguhnya belum berhasil menghilangkan mitos. Bahkan pada titik tertentu, Pencerahan sendiri malah menjadi mitos. Ilmu pengetahuan harus bersifat operasional. Sikap tersebut akhirnya diteruskan oleh positivisme dan pragmatisme yang tidak percaya akan kebenaran dalam dirinya sendiri. Kebenaran disebut kebenaran apabila terjadi eksperimentasi. Operasionalisasi ilmu pengetahuan justru menjadi tujuan pada dirinya sendiri.[15] Selain bahwa pencerahan mengalami kegagalan maka kritik yang lain dari Teori Kritis adalah kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca industri adalah kritik bahwa masyarakat mengalami satu dimensi.[16]
Objek sentral dalam Teori kritis Adorno adalah hubungan saling keterpengaruhan antara pertentangan-pertentangan dalam masyarakat sebagai sebuah totalitas dan bentuk kongkrit kehidupan subjek-subjek dalam masyarakat. Teori kritis diorientasikan pada ide tentang masyarakat sebagai subjek, dengan individu sebagai pusat. Sebuah Teori menjadi ”kritis” dengan menegaskan ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yang dihasilkan oleh kondisi sosial dibawah ekonomi kapitalis.
Sebenarnya, di dunia filsafat, Teori Kritis ini bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Apa bila kita tengok lagi ke belakang sebelum Teori ini di suarakan oleh Horkheimer dan Adorno tersebut, telah menjadi tradisi di dunia filsafat yang ada di Jerman. Teori Kritis muncul dan mempengaruhi konsep rasionalitas dan tindakan masyarakat Jerman pasca industri. Teori Kritis ini bermula pada Filsafat Kritis yang yang dipelopori oleh Immanuel Kant. Kant berusaha menganalisa syarat-syarat, serta batas-batas kemampuan rasional dalam dimensi-dimensinya yang murni dan praktis-etis. Dengan demikian maka kritik ala Kant ini dijalankan menggunakan prinsip-prinsip rasio yang menurutnya secara transenden dan immanen.[17]
Pada dasarnya Teori Kritis adalah suatu gaya berpikir yang merentang ke berbagai bidang. Maka dari itu sangatlah sulit untuk menemukan satu kesatuan utuh di dalamnya. Namun menurut Honneth ada satu kesamaan yang mendasari seluruh pemikir di dalam ranah Teori kritis, yakni sikap negatifnya pada realitas faktual. Artinya mayoritas pemikir Teori kritis bersikap negatif dan mencurigai terhadap semua situasi sosial yang terjadi, bahkan yang tampak paling positif sekalipun. Honneth menyebut ini sebagai negativitas sosial (social negativism). Dengan kata lain, setiap kondisi sosial tidak pernah merupakan suatu situasi yang positif, karena selalu menyembunyikan ketidakadilan sosial. Di tangan Honneth Teori kritis tidak lagi hanya berfokus soal keadilan sosial, tetapi juga pada soal keadilan kultural (terkait dengan konsep hidup yang baik), yakni iklim yang menghambar perkembangan kultural suatu masyarakat.[18]
Secara umum, Teori Kritis yang di pelopori Horkheimer dan Adorno ini banyak menjadikan filsafat Hegel dan Freud sebagai dasar pemikiran mereka. Di dalam tradisi berpikir semacam itu, akal budi (reason) masih menjadi titik tolak untuk membaca dan memahami gerak sejarah. Akal budi dianggap sebagai kemampuan universal manusia untuk bersikap kritis terhadap dinamika masyarakat. Akan tetapi keyakinan besar pada kemampuan akal budi tersebut tampak tidak lagi relevan sekarang ini. Banyak filsuf dan intelektual pada umumnya sekarang ini sudah mulai sadar akan pluralitas budaya, sekaligus pluralitas konsep akal budi itu sendiri. Di dalam wacana postmodernisme, akal budi dianggap merupakan salah satu narasi besar yang mengklaim dirinya universal. Padahal sebenarnya kemampuan dan isi dari akal budi sangatlah tergantung pada kultur yang sifatnya lokal dan partikular.[19]
Dapatlah dikatakan bahwa secara umum pada zaman sekarang ini para filsuf telah melangkah lebih maju, bahwa masalah sosial yang perlu dikaji bukan sekedar membuka struktur sosial yang tidak adil, melainkan lebih memahami konsep keadilan yang memang seringkali sifatnya lokal dan partikular. Artinya bahwa dalam menilai sesuatu itu telah berlaku keadilan atau tidak, bukanlah sesuatu yang selalu bersifat universal, melainkan memiliki aspek lokal partikular yang harus dipahami terlebih dahulu sesuai dengan situasi dan kondisi kultur, budaya, dan masih banyak hal-hal lain yang bersifat lokal. Maka jelas, bahwa jika proses pencerahan dan pembebasan hendak dilakukan, terlebih dahulu kita harus memahami ketidakadilan lokal yang terjadi, dan kemudian berusaha memberikan pengertian pada orang-orang yang tertindas tersebut untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
3. Dialektika Pencerahan.
“Dialektika Pencerahan” adalah judul sebuah buku, karya terkenal dari Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno yang ditulis bersama pada tahun 1944. Buku ini aslinya ditulis dalam bahasa Jerman dengan judul “Dialektik der Aufklarung” dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai “Dialectic of Enlightenment”. Secara umum isi buku tersebut bermuatan kritik terhadap modernitas, yang dipandang oleh Adorno dan Horkheimer, sebagai sejarah dominasi atau penguasaan. Pemikiran mereka secara umum senada dengan kritik Karl Marx, adapun yang membedakan adalah bahwa Adorno dan Horkheimer tidak menjelaskan sejarah penguasaan dari hubungan produksi, melainkan dari dorongan psikologis manusia yang berkeinginan kuat untuk menguasai pihak lain. Melalui Dialektika Pencerahan tersebut Adorno dan Horkheimer, lebih jauh, mengkritik kesadaran yang ada pada masyarakat itu sendiri, dengan kesadaran modern, yang dengannya bahwa rasio sebagai alat utama dominasi. Lebih lanjut, Adorno dan Horkheimer juga beranggapan bahwa pencerahan yang dipandang sebagai kemajuan dari cara pandang mitologis, sebenarnya telah menjadi mitos itu sendiri. Lebih jauh, mitos itu pada gilirannya juga menghasilkan penindasan dan penguasaan manusia yang satu terhadap yang lainnya. Kenyataan terjadinya penindasan tersebut, antara lain sebagaimana yang dialami Adorno sendiri, yaitu dengan munculnya ideologi fasisme di Jerman, disamping juga kepincangan-kepincangan yang diakibatkan dari kemajuan teknologi yang telah memanupulasi manusia, pada umumnya.[20]
Dalam karyanya tersebut, Adorno berusaha memberikan analisis konseptual tentang bagaimana pencerahan yang pada mulanya ditujukan untuk mengamankan kebebasan dari ketakutan dan otoritas manusia, berubah menjadi beberapa bentuk dominasi politik, sosial, dan budaya, dimana manusia kehilangan individualitas dan masyarakat kehilangan makna kemanusiaan. Analisis ini diberikan dengan penjelasan tentang motif konseptual dari proses rasionalisasi masyarakat dalam konteks Weberian, dimana dominasi kapitalis merupakan bahaya terbesar yang muncul darinya.
Objek sentral dalam Teori kritis Adorno adalah hubungan saling keterpengaruhan antara pertentangan-pertentangan dalam masyarakat sebagai sebuah totalitas dan bentuk konkrit kehidupan subjek-subjek dalam masyarakat. Teori kritis diorientasikan pada ide tentang masyarakat sebagai subjek, dengan individu sebagai pusat. Sebuah Teori menjadi ”kritis” dengan ketegasan terhadap ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yang dihasilkan oleh kondisi sosial dibawah ekonomi kapitalis.
Namun demikian, Teori Adorno dan Horkeimer tersebut ditentang oleh Jurgen Habermas, yang notabene sebagai asisten dari Adorno sendiri, disamping juga sebagai salah satu dari tokoh penting dari kelompok Mazhab Frankfurt. Habermas mengatakan bahwa Teori tersebut sebagai sebuah dialetika negatif, dan merupakan proyek filsafat analog dengan dekonstruksi Derrida. Dialektika negatif dan dekonstruksi merupakan dua jalan keluar untuk persoalan yang sama, yaitu ketika rasionalitas Pencerahan tak mungkin dipertahankan. Rasionalitas pencerahan merupakan muasal dari totalitarisme filsafat dan politik abad ke duapuluh dan tak ada jalan keluar darinya kecuali dengan meninggalkannya.[21]
Adorno dan Horkeimer dinilai telah terjebak dan tidak dapat keluar dari dilema rasionalitas Pencerahan ini. Keduanya, bagi habermas, berikhtiar mengungkapkan dialektika pencerahan dengan tanpa merevitalisasi rasio kritis. Adorno dan Horkheimer mengalami keputus asaan filosofis ketika melihat kenyataan kedigdayaan rasio kritis telah lama ditelan dominasi karena perluasan rasio instrumental. Pertanyaan yang patut diajukan kemudian, bila kita semua telah kehilangan kapasitas rasio kritis, lalu bagaimana kita dapat mengungkapkan problem kehilangan rasio kritis?[22]
D. Penutup
Dari serangkaian pembahasan seluk beluk Theodor W. Adorno ini, untuk lebih ringkasnya penulis akan merangkum ke dalam beberapa simpulan dan analisa singkat, sebagai berikut:
1. Simpulan
Theodor W. Adorno dilahirkan di kota Frankfurt, Jerman pada 11 September 1903. Disamping sebagai seorang filsuf, sebenarnya dia juga seorang sosiolog, musikolog, dan komponis. Pada waktu terjadi huru-hara di Jerman yang dimotori oleh Adolf Hitler bersama Partai Nazi, memaksa Adorno, sebagai keturunan Yahudi, bersama beberapa tokoh Mazhab Frankfurt keturunan Yahudi yang lain untuk menyelamatkan diri dengan cara pindah ke Amerika Serikat. Mereka baru kembali ke Jerman pada waktu situasi di Jerman telah aman.
Adorno adalah salah satu dari tokoh penting dalam Mazhab Frankfurt. Sejurus dengan nafas dalam Mazhab Frankfurt, yang terkenal dengan “Teori Kritis”nya, dia bersama Max Horkheimer menulis buku “Dialektika Pencerahan” yang cukup spektakuler. Isi buku tersebut bermuatan kritik terhadap modernitas, yang dipandang oleh Adorno sebagai kendaraan bagi dominasi dan penguasaan. Disamping itu, Adorno juga mengkritik kesadaran yang ada pada masyarakat itu sendiri yang terbelenggu dengan pemahaman tentang kemodernan, yang mengakibatkan harkat kemanusiaan terpuruk dalam posisi sebagai obyek bukan sebagai subyek. Keterpurukan tersebut adalah bahwa manusia kehilangan individualitasnya, demikian juga dengan masyarakat kehilangan makna kemanusiaan kemasyarakatannya.
Melalui Teori Kritisnya, perjuangan Adorno bersama kawan-kawan telah memberikan angin segar, dengan kebijakan yang kritis atas seluruh fenomena kemodernan. Salah satu maksud praktis dari Teori Kritis adalah membantu proses refleksi diri masyarakat atas proses pembentukan diri masyarakat itu. Proses rasionalitas adalah proses menuju otonomi dan kedewasaan. Teori Kritis mencoba untuk membuka dimensi rasionalitas dengan rasio fungsionalis yang tercermin dalam tindak komunikasi. Teori Kritis mengkritisi modernitas ketika mereka mau mengabsolutkan rasio instrumental dalam bentuk kekuasaan dan kemakmuran ekonomis.
Namun demikian, Teori Kritis tersebut tetap saja memuat keterbatasan-keterbatasan. Teori ini mengalami kebuntuan Teoritis atas seluruh proses rasionalitas. Bahkan Jurgen Habermas, salah satu dari tokoh penting kelompok Mazhab Frankfurt yang lain, menilai Teori Kritis sebagai sebuah dialetika negatif, yang mudah mencurigai atas segala kemajuan. Memang disadari bahwa dalam tindak komunikatif ada bentuk rasionalitas lain yang perlu dibangun, yaitu rasionalitas praktis moral. Tapi hal itu tidak pernah bisa berkembang. Dalam hal ini proyek emansipatoris mengalami hambatan yang luar biasa dalam hal tersebut. Sejauh mana rasionalitas praktis-moral mendapat nilai untuk dijadikan konsensus sosial yang terbuka bagi masyarakat.
2. Analisa
Dari perjalanan dan perjuangan Theodor W. Adorno bersama kawan-kawan, dengan Tori Kritisnya telah membawa pencerahan luar biasa untuk menjawab permasalahan kepincangan-kepincangan yang diakibatkan oleh arus modernisasi di Jerman dan negara-negara barat lain pada masa itu. Namun demikian, penulis menilai bahwa Teori tersebut hanya hebat pada zamannya. Adapun pada zaman sekarang ini, secara umum para filsuf telah melangkah lebih maju. Masalah sosial yang dikaji para pemikir saat ini bukan sekedar membuka struktur sosial yang tidak adil, melainkan lebih memahami konsep keadilan yang sering bersifat lokal dan partikular. Dengan demikian konsep dan nilai keadilan tentunya juga harus sesuai, yaitu tidak mengindahkan pada sifat lokal dan partikular tersebut.
Apabila diperhatikan dengan seksama di dalam dunia filsafat, sebenarnya tidak terdapat pemikiran maupun Teori yang benar-benar autentik baru yang dihasilkan oleh Adorno secara pribadi. Bahkan Teori Kritik yang di pelopori oleh Adorno bersama Max Horkheimer, hanyalah merupakan penerus dari faham Marxis yang diubah di beberapa sisi, disesuaikan dengan keadaan permasalahan-permasalahan di negara-negara barat, khususnya Jerman pada masa itu. Disamping itu, corak pemikiran yang ada dalam Teori Kritik ternyata tidak lebih hanya terfokus untuk mengkritisi permasalahan dan kepincangan saja, tanpa menawarkan sebuah jalan keluar yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Adorno, Theodor W. dkk., The Complete Correspondence 1928–1940, (Cambridge England: Polity Press, 1999).
Agger, Ben, Critical Social Theories: An Introduction, terj. Nurhadi, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003).
Bertens, K., Filsafat Barat Kontempore:r Inggris-Jerman, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002).
Geuss, Raymond, The Idea of A Critical Theory, Habermas & the Frankfurt School, (Cambridge University Press: Cambridge, 1989).
Giddens, A.,& Turner, J., ed., Social Theory Today, (California: Stanford University Press, 1987).
Honneth, Axel, Cambridge Companion to Critical Theory, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004).
Horkheimer, Max & Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, terj. Ahmad Sahidah, Dialektika Penceraha, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002).
Jager, Lorenz, Adorno: A Political Biography, (Munic: Deutsche Verlags-Anstalt GmbH, 2003).
Jay, Martin, The Dialectical Imagination, (London: Heinemann, 1973).
Lechte, John, 50 filsuf kontemporer: dari strukturalisme sampai postmodernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2001).
Marcuse, One Dimensional Man: Studies in The Ideology of Advanced Industrial Society, (London: Routledge, 1964).
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1981).
Sutrisno, Mudji dkk., Teks-teks Kunci Estetika: Filsafat Seni, (Yogyakarta: Galangpress Group, 2005).
Tjahjadi, Simon Petrus L., Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead. (Yogyakarta: Kanisius, 2007).
[1] Istilah “Mazhab Frankfurt” diberikan kepada sekelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Sekolah Frankfurt (Institusi Penelitian Sosial di Frankfrurt, Jerman), dan pemikir-pemikir lainnya yang dipengaruhi oleh mereka. Sebagian diantara filsuf terkenal yang tergabung sebagai anggota Mazhab Frankfurt ini antara lain Theodor Adorno, Walter Benjamin dan Jurgen Habermas. Sebenarnya, para pemikir ini tidak pernah mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok atau ‘mazhab’. Penamaan ini muncul secara retrospektif.
[2] Martin Jay, The Dialectical Imagination, (London: Heinemann, 1973), 42.
[3] Raymond Geuss, The Idea of A Critical Theory, Habermas & the Frankfurt School, (Cambridge University Press: Cambridge, 1989), 1-2.
[4] Lorenz Jager, Adorno: A Political Biography, (Munic: Deutsche Verlags-Anstalt GmbH, 2003)
[5] John Lechte, 50 filsuf kontemporer: dari strukturalisme sampai postmodernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2001)
[6] Ibid.
[7] Theodor W. Adorno dkk., The Complete Correspondence 1928–1940, (Cambridge England: Polity Press, 1999)
[8] K. Bertens, Filsafat Barat Kontempore:r Inggris-Jerman, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), 194.
[9] Raymond Geuss, The Idea...1
[10] Giddens, A.,& Turner, J., ed., Social Theory Today, (California: Stanford University Press, 1987), 347.
[11] Raymond Geuss, The Idea...26
[12] Ben Agger, Critical Social Theories: An Introduction, terj. Nurhadi, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), 157-158.
[13] Raymond Geuss, The Idea..., 26-28.
[14] Ibid, 31.
[15] Max Horkheimer & Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, terj. Ahmad Sahidah, Dialektika Penceraha, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002)
[16] Marcuse, One Dimensional Man: Studies in The Ideology of Advanced Industrial Society, (London: Routledge, 1964)
[17] Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1981), 146- 147.
[18] Axel Honneth, Cambridge Companion to Critical Theory, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 338.
[19] Ibid., 337.
[20] Simon Petrus L. Tjahjadi, Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead. (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 102-114.
[21] Mudji Sutrisno dkk., Teks-teks Kunci Estetika: Filsafat Seni, (Yogyakarta: Galangpress Group, 2005), 152.
[22] Ibid.